Selasa, 04 Juli 2017

Ringkasan Buku Teks Gerbang Tasawuf

RINGKASAN BUKU TEKS GERBANG TASAWUF

OLEH:
DOLI RAMADHAN
NIM:0705163027

DOSEN PENGAMPU:
Dr. JA’FAR, M.A




FISIKA-1
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SUMATRA UTARA













PENDAHULUAN

Para sufi memiliki teori tentang istilah-istilah di dalam Ilmu Tasawuf. Ilmu yang diajarkan oleh kaum sufi bersumber dari Alquran dan hadis. Hingga saat ini kita sangat bersyukur mendapatkan ilmu tentang akhlak tasawuf di kehidupan modern ini.
Pada pembahasan ini, penulis meringkas semua penjelasan yang terkandung didalam buku Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi yang ditulis oleh Dr. Ja’far, M.A , yang juga merangkum dari pendapat serta karya-karya para sufi terkenal seperti al-Qusyairi, al-Kalabazi, al-Ghazali, Ibn Qayyim al-Jauziyah, Abu Najib Suhrawardi  dan masih banyak lagi. Semoga , pembahasan tentang ahlak tasawuf ini dapat meningkatkan iman dan takwa kepada Allah Swt. dan dapat mengintegrasikan antara tasawuf dengan keilmuwan kita didalam akademik dan juga kehidupan sehari-hari.





























DAFTAR ISI

TASAWUF: DEFINISI, HIERARKI, DAN TUJUAN
A. Definisi Tasawuf
B. Tasawuf dalam Hierarki Ilmu-Ilmu Islam
C. Tujuan Tasawuf

EPISTEMOLOGI TASAWUF
A. Peran Hati dalam Tasawuf
B. Metode Tazkiyah al-Nafs

AL-MAQAMAT DAN AL-AHWAL
A. Definisi
B. Pondasi al-Maqamat
C. Hierarki al-Maqamat
D. Al-Maqam Lainnya
E. Mengenal al-Ahwal

INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS
A. Integrasi dalam Sejarah Islam
B. Integrasi dalam Ranah Ontologi
C. Integrasi dalam Ranah Epistemologi
D. Integrasi dalam Ranah Aksiologi





















TASAWUF:
DEFINISI,HIERARKI, DAN TUJUAN


A. Definisi Tasawuf
Dalam kitab Kasyf al-Mahjub, al-Hujwiri telah menjelaskan asal-usul kata tasawuf. Pertama, istilah tasawuf berasal dari kata al-shuf, yaitu wol. Disebut sufi karena kaum sufi mengenakan jubah yang terbuat dari bulu domba. Kedua, istilah tasawuf berasal dari kata al-shaf, yaitu barisan pertama, yang bermakna bahwa kaum sufi berada pada barisan pertama di depan Tuhan, karena besarnya keinginan mereka terhadap Tuhan, kecenderungan hati mereka terhadap-Nya dan tinggalnya bagian-bagian rahasia dalam diri mereka di hadapan-Nya. Ketiga, istilah tasawuf berasal dari kata ahl al-shuffah karena para sufi memiliki sifat-sifat menyamai sifat orang-orang yang tinggal di serambi masjid (suffah) yang hidup pada masa Nabi Muhammad Saw. Keempat, istilah tasawuf berasal dari kata al-shafa’ yang artinya kesucian, sebagai makna bahwa para sufi telah menyucikan akhlak mereka dari noda-noda bawaan, dan karena kemurnian hati dan kebersihan tindakan mereka. Kaum sufi menjaga moral dan menyucikan diri mereka dari kejahatan dan keinginan duniawi.
Junaid al-Baghdadi mengatakan yang artinya:
“Memurnikan hati dari berhubungan dengan makhluk-makhluk lain, meninggalkan sifat-sifat alamiah, menekan sifat-sifat manusiawi, menghindari godaan jasmani, mengambil sifat-sifat ruh, mengikat diri dengan ilmu-ilmu hakikat, mengumpulkan segala sesuatu untuk masa yang kekal, menasihati seluruh umat, sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan, dan mengikuti syariah Nabi”
Dapat dipahami bahwa tasawuf merupakan disiplin ilmu yang berkaitan dengan penyucian jiwa manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt.

B. Tasawuf dalam Hierarki Ilmu-Ilmu Islam
Dalam muqaddimah, Ibn Khaldun membagi ilmu menjadi dua jenis. Pertama, ilmu-ilmu hikmah dan filsafat (‘ulum al-hikmiyah al-falsafiyyah) yang diperoleh dengan akal manusia, dan ilmu yang di ajarkan dan ditransformasikan (‘ulum al-naqliyah al-wadhi’iyah) yang bersumber kepada syariat islam(Al-qur’an dan Hadits). Ibn Khaldun mengkategorikan tasawuf sebagai salah satu dari berbagai ilmu-ilmu syariah (‘ulum al-naqliyah al-wadhi’iyah). Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (w.1350) membagi ilmu menjadi tiga derajat: ‘ilm jaliyun (didasari observasi, eksperimen, dan silogisme), ilm khafiyun (ilmu makrifat), dan ‘ilm laduniyun (didasari ilham dari Allah), dan tasawuf dikelompokkan kepada ‘Ilm khafiyun dan ‘Ilm laduniyun.
Dari aspek tujuan, pelajar sufi (al-murid) harus terus meningkatkan kualitas ibadahnya dan beranjak dari tingkatan terendah sampai tingkatan tertinggi (al-maqamat) sampai mencapai kemantapan tauhid (al-tauhid) dan makrifat (al-ma’rifah). Dari aspek pembahasan, tasawuf membicarakan empat pokok persoalan. Pertama, pembahasan tentang mujahadah (al-mujahaddah), zauq (al-dzawq), intropeksi diri (muhasabah al-nafs), dan tingkatan-tingkatan spiritual (al-maqamat). Kedua, penyingkapan spiritual (al-kasyf) dan hakikat-hakikat (al-haqiqah), alam gaib (‘alam al-gayb). Ketiga keramat wali, (al-karamat). Keempat, istilah-istilah kaum sufi yang diungkap pasca “mabuk” spiritual (al-syathahat). Menurut Ibn Khaldun, kebanyakan fukaha menolak ajaran kaum sufi tentang tasawuf.

C. Tujuan Tasawuf
.Seorang muslim tidak saja dituntut untuk menjalankan al-islam dan al-iman,tetapi juga merealisasikan al-ihsan sebagai hierarki yang paling tinggi.Al-Quran dan hadis menghendaki umat Islam dapat memantapkan ketauhidan dan ibadah dalam kerangka al-ihsan,dan mengimpementasikan tugas sebagai khalifah-nya di muka bumi demi kebaikan dunia maupun akhirat kelak. Mereka mengembangkan tujuan hidup manusia menjadi tujuan dari sebuah perjalanan spiritual.
Para sufi telah merumuskan tujuan dari tasawuf. Ibn Khaldun menjelaskan bahwa puncak perjalanan spiritual para penempuh jalan tasawuf setelah melewati beragam tingkatan spiritual (al-maqamat) adalah kemantapan tauhid dan makrifat.Karya-karya para sufi menguatkan pernyataan tersebut.Seperti disebut al-Quraisy,Ruwaim bin Ahmad pernah menyatakan bahwa kewajiban pertama dari Allah kepada hamba-Nya adalah makrifah sebagaimana disebut dalam Q.S al-Zariyat/51:56 bahwa jin dan manusia diciptakan untuk li ya’budun yang diartikan Ibnu ‘Abbas sebagai li ya’rifin (makrifat kepada Allah).Junaid al-Baghdadi mengatakan bahwa makrifah (ma’rifah) merupakan awal dari kebutuhan hamba dari hikmah.Pernyataan sufi-sufi tersebut mendukung penegasan bahwa tujuan bertasawuf adalah bermakrifat kepada Allah.
Dua sumber ajaran Islam,Al-Qur’an dan hadis,memberikan sinyal kuat bahwa manusia berpotensi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,bertauhid dan bermakrifat kepada-Nya.Dalam Q.S. al-Baqarah/2:186,Allah SWT ,berfirman yang artinya:

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,maka (jawablah),bahwa Aku dekat.Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku,agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” 

Dalam Q.S Qaf/50:16,Allah SWT berfirman ,yang artinya:

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya,dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”.

Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa:

Dari Abi Hurairah,iaa berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah SWT “Aku menurut keyakinan hamba-Ku kepada-Ku,dan Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku.Jika ia mengingat-Ku didalam dirinya,maka Aku mengingatnya didalam diri-Ku.Jika ia mengingat-Ku didalam suatu kelompok,maka Aku mengingatnya di dalam suatu kelompok yang lebih baik darinya.Jika ia mendekati-Ku sejengkal,maka Aku mendekatinya satu lengan.Jika ia mendekati-Ku satu lenga,maka Aku mendekatinya satu depa.Jika ia mendekati-Ku berjalan,maka Aku mendekatinya dengan berlari.”  

Zun al-Nun al-Mishri mengungkapkan bahwa tasawuf adalah “orang-orang yang mengutamakan Allah dari yang lain,sehingga Allah lebih mengutamakan mereka dari yang daripada yang lain”.Muhammad al-Kattani menjelaskan bahwa “Tasawuf adalah akhlak,maka barangsiapa yang bertambah baik akhlaknya,maka akan bertambah mantap tasawufnya (semakin bersih jiwanya).Kata-kata sebagian sufi tersebut menunjukkan bahwa tasawuf berupaya mengantarkan penekunannya untuk selalu bersama Allah dalam berbagai keadaan,dan memantulkan akhlak mulia dalam diri pengkajinya sebagai wujud dari kemantapan tauhidnya.
Paling tidak,tasawuf dibagi menjadi dua mazhab,yakni tasawuf akhlaki/amali (berkembang di dunia Sunni) dan tasawuf falsafi (berkembang di dunia Syiah).Mayoritas sufi dari kalangan Sunni menegaskan bahwa al-maqam tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang sufi hanyalah tingkatan rida (al-ridha).































EPISTEMOLOGI TASAWUF


A. Peran Hati dalam Tasawuf

Dalam tradisi intelektual islam, hati ditempatkan sebagai salah satu sarana meraih ilmu. Istilah hati berulang kali disebut dalam al-quran dan hadis, yang biasanya disebut dengan kata qalb, al-fuad, atau af’idah. Hati disebut dalam al-quran dengan berbagai bentuk, antaralain, kata qalbun, disebut sebanyak enam kali, dan qulb disebut sebanyak 21 kali. 
Ahmad mubarok telah menemukan konsep Alquran tentang fungsi, potensi, kandungan, dan kualitas hati manusia, disebutkan bahwa dari segi fungsi, menurut ahmad mubarok, qalb berfungsi sebagai “alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai serta memutuskan suatu tindakan”  sehingga qalb menjadi indentik dengan akal.disebut bahwa ada delapan potensi hati yakni hati itu bisa berpaling, ,merasa kecewa dan kesal, secara sengaja memutuskan untuk melakukan sesutau, berprasangka, menolak sesuatu, mengingkari, dapat diuji, dapat ditundukkan, dapat dioperluas dan dipersempit, bahkan bisa ditutup rapat. Adapun kandungan hati manusia adalah penyakit, perasaan takut, getaran, kedamaian, keberanian, cinta dan kasih sayang, iman, kedengkian, kufur, kesesatan, penyesalan, panas hati, keraguan, kemunafikan dan kesombongan. Sedangkan kondisi hati manusia bermacam-macam, sebagian bersifat positif seperti hati yang bersing (qalsalim) , hati yang betaubat (qalbimunib), hati yang tenang (qalbi muthmain), hati yang menerima petunjuk( yahdi qalbih), dan hati yang takwa (takwa al-qulb). Sebagian kondisi hati yang bersifat positif, seperti keras hati, hati yang berdosa ( itsm al-qolbi), hati yang tersumbat (qulubuna ghalf), hati yang ingkar (qulubihim munkarah) dan hati yang kosong( afidatihim hawa).
Mayoritas sufi menilai bahwa akal manusia tidak mampu mencapai hakikat allah SWT, dan al-quran menjelaskan kelemahan akal bisa ditutup oleh hati yang damai. Dalam Q.S. al-Syu’ara’/ 26:89, disebutkan “kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang damai”. Dalam Q.S. al-Shaffat/ 37:84, disebutkan “(ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang damai”. Jadi, hati yang damai (biqalb salim) mampu datang dan menghadap kepada Allah Swt.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa hati menjadi standar baik dan buruk dari jasmani manusia. Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya, “[dan ketahuilah bahwa sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika kondisinya baik, maka baiklah seluruh jasad. Jika rusak, maka rusaklah seluruh badan. Ingatlah, dia adalah hati]. Dalam sebuah hadis lain dinyatakan bahwa hati yang suci lebih utama dari harta keduniawian, sebanyak apapun harta tersebut. Nabi Muhammad Saw. bersabda “kaya itu bukanlah karena banyaknya harta, tetapi kaya itu adalah kaya hati.”
Al-Ghazali menjelaskan bahwa hati (qalb) bermakna ganda. Pertama, hati adalah “daging yang diletakkan dalam dada sebelah kiri. Dalam daging tersebut terdapat lubang, dan dalam lubang tersebut terdapat darah berwarna hitam yang menjadi sumber ruh. Hati semacam ini juga terdapat pada jasad binatang”. Kedua, “sesuatu yang halus, bersifat ketuhanan (rabbaniyah), ruhani (ruhaniyah), dan memiliki kaitan dengan ruh. Hati ini merupakan hakikat manusia.
Menurut al-Ghazali, hati dapat meraih ilmu mengenai banyak hal manakala ia memiliki sifat-sifat Rabbaniyah dan hikmah. Hati akan menjadi suci ketika dihiasi oleh sifat-sifat Ilahiah, cahaya iman (sebagai dampak dari zikir dan ibadah), dan hikmah, sehingga hati akan menjadi cermin yang bercahaya cemerlang, dan akhirnya hati akan meraih kasyf yang membuatnya dapat memeroleh kebenaran, bertemu Allah Swt, dan mampu menyingkap hakikat agama.
Menurut al-Ghazali, seorang sufi dapat meraih ilmu mengenai banyak hal tanpa melalui proses belajar dan usaha, melainkan dengan ketekunan dalam ibadah dan zuhud terhadap dunia. Menurutnya, hati mampu meraih ilmu yang diraih tanpa usaha dan dalil yang disebut ilham yang muncul di hati yang suci, meskipun tidak melalui proses belajar. Tingkatan tertinggi dalam ilham disebut wahyu yang diraih oleh para nabi dan rasul, sedangkan ilham diraih oleh para wali (sufi). Wahyu diraih para nabi dan rasul lewat penyaksian terhadap malaikat, sedangkan ilham diraih melalui bisikan hati.

B. Metode Tazkiyah al-Nafs
Dalam epistemologi burhani, masih ditemukan jarak antara objek yang dipikirkan dengan subjek yang memikirkan, sedangkan dalam epistemologi ‘irfani, tidak ditemukan jarak tersebut, karena telah terjadi persatuan antara objek yang dipikirkan dengan subjek yang memikirkan (ittihad al-‘aqil wa al-ma’qul). Kisah petualangan al-Ghazali yang meninggalkan mazhab kaum teolog (al-mutakallimin), mazhab Batiniah (al-bathiniyyah), dan mazhab filsafat rasional (al-falasifah) untuk beralih ke mazhab tasawuf (al-shufiyyah) menjadi gambaran penting dari keutamaan hati dari akal.
Tazkiyah al-nafs disebut Alquran sebanyak 25 kali dalam berbagai bentuk: zakiyyah, azka, yuzakki, yatazakki, atau zaki. Istilah tersebut dapat bermakna “tumbuh karena berkah dari Tuhan, halal, sifat-sifat terpuji, dan menyucikan jiwa. Adapun keutamaan tazkiyah al-nafs menurut Alquran bahwa pelakunya disebut sebagai orang-orang yang beruntung (Q.S. Al-Syams/91: 9; dan Q.S. al-A’la/87: 14) dan orang tersebut diberi pahala serta keabadian surgawi (Q.S. Thaha/20: 6).
Metode ‘irfani merupakan metode kaum sufi dalam Islam yang mengandalkan aktivitas penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, dan menilai bahwa ilmu hakiki hanya diraih dengan cara mendekatkan diri kepada sosok yang Maha Mengetahui (al-‘Alim), bukan dengan metode observasi dan eksperimen atau juga metode rasional. Al-Ghazali  menekuni tasawuf dengan mempraktikkan metode para sufi seperti al-‘uzlah, al-khalwah, al-riyadhah, dan al-mujahadah dalam rangka menyucikan jiwa (tazkiyah al-nafs), mendidik akhlak (tahzib al-akhlaq), dan memurnikan hati (tashfiyah al-qalb) untuk berzikir kepada Allah. Al-Ghazali mengadakan khalwah selama 10 tahun untuk mempraktikkan semua metode kaum sufi, bahkan meninggalkan tahta, keluarga dan harta yang dimiliki. Dapat disimpulkan bahwa metode tazkiyah al-nafs dapat menjadi jalan lain bagi ilmuwan Muslim untuk memperoleh ilmu (ma’rifah).
Mazhab tasawuf, menurut al-Ghazali, dapat diwujudkan secara sempurna hanya melalui ilmu (‘ilm) dan amal (‘amal). Karya-karya para sufi menegaskan manusia terdiri atas badan dan jiwa (qalb). Baik badan maupun jiwa dapat menjadi sehat dan bahagia manakala kebutuhan keduanya dapat dipenuhi secara benar, dan menjadi sakit manakala kebutuhan keduanya tidak dipenuhi.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (w.1350) menyebut ilmu yang diraih oleh kaum sufi sebagai ‘ilm laduniyun, yakni ilmu yang diisyaratkan kepada ilmu yang diperoleh seorang hamba tanpa menggunakan sarana, tetapi berdasarkan ilham dari Allah, dan diperkenalkan Allah kepada hamba-Nya. Ilmu ladunni merupakan buah dari ibadah, serta kepatuhan dan kebersamaan dengan Allah, dan dicari dari kepatuhan kepada Rasul-Nya. Ilmu ladunni terdiri atas dua macam: dari sisi Allah dan dari sisi setan. Kaum sufi meraih ilmu dari sisi Allah, sedangkan para dukun meraih ilmu dari sisi setan.






































AL-MAQAMAT DAN AL-AHWAL

A. Definisi
Dalam adab al-Muridin, Abu al-Najib al-Suhrawardi, al-Maqamat adalah tingkatan spiritual seorang hamba dalam ibadah di hadapan Allah Swt. Dalam Risalahal-Qusyairiyyah, al-Qusyairi menjelaskan bahwa al- Maqamat adalah tingkatan spiritual yangakan diraih salik dengan jalan mujahadah dan mengamalkan adab-adab, perilaku, dan sikaptertentu, serta riyadhah. Menurutnya, seorang saliktidak akan dapat menaiki maqamselanjutnya sebelum berhasil menjalani dan memperoleh maqam sebelumnya. Setiap salikharus menjalan peraturan-peraturan secara konsisten untuk mendapatkan suatu maqamtertentu. Misalnya, seorang salik harus melaksanakan ritual mistis secara konsisten demi mendapatkan maqam wara’ sebelum memulai usaha untuk mendapatkan maqam al-zuhud.
Mengenai al-ahwal, para sufi telah meyebutkan beberapa keadaan hati seorang salik yang dirasakan selama melewati beragam tingkatan spiritual. Menurut al-Thusi, diantara al-ahwal adalah al-muraqabah, al-qurb, al-mahabbah, al-khauf, al-raja’, al-swawq, al-uns, al-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin. Menurut al-Quayairi, diantara yang termasuk alahwal adalah thurb, huzn, basth, qabdh, dan syawq. Menurut Abu al-Najib al-Suhrawardi,diantara yang termasuk dalam al-ahwal adalah al-muraqabah, al-qurb, al-mahabbah, al-raja’,al-khauf, al-haya’, al-syawq, al-thuma’ninah, al-yaqin, dan al-musyahadah. Sejumlah al-ahwal tersebut merupakan pemberian Allah Swt. Kepada salik yang sedang menjalani beragam ibadah untuk menakapi satu persatu maqam dari yang awal sampai yang paling akhir sebagai puncak tertinggi dari kedudukan spiritual yang mungkin dicapai seorang sufi.
B. Pondasi al-Maqamat
Tujuan riyadhah adalah menghilangkan semua hambatan yang merintangi jalan menuju Allah terutama kesenangan lahir dan batin; menundukkan jiwa binatang kepadaakal praktis yang mendorong jiwa dalam mencari kebenaran; dan membiasakan jiwa agarselalu siap untuk menerima pancaran Allah Swt. Sehingga jiwa tersebut mampu memperolehkesempurnaan yang bisa dicapainya. Para salik tidak bisa tidak¬, harus mengamalkanibad¬ah, mujahadah, dan riyadah dalam menyucikan jiwa mereka untuk dapat meraih seluruhtingkatan al-maqamat dan dianugrahi al-ahwal.
Dalam mendapatkan al-maqam dan al ahwat tertentu, menurut al-Kalabazi, seorangsufi harus menjalankan amalan- amalan agama secara benar. la mengatakan bahwa ilmu-ilmusufi adalah ilmu-ilmu tentang keadaan-keadaan (al-ahwal) yang diwariskan dari amal-amaltertentu dan hanya dialami oleh orang yang mengamalkan (agama) secara benar. Langkahmenuju amal yang benar adalah mengetahui hukum-hukum syariat (al-ahkam al-syariah),memahami Al-quran (al-kitab), sunnah (al-sunnal), ijimak salaf (ijma'al-salaf), akidah Ahlussunnah Waljamaah, dan ilmu makrifat (ilm ma’rifah). Sebagai seorang sufi dari mazhab
Sunni, al-Kalabazi berharap para salik mengamalkan ajaran Islam yang sesuai dengan doktrin mazhab Sunni baik dalam bidang akidah maupun syariah demi meraih tujuan tasawuf.
C. Hierarki al-Maqamat
Dalam karya-karya tasawuf karangan sufi dari mazhab Sunni, akan dapat dilihatragam rumusan mengenai al-maqamat sebagai tingkatan yang harus diraih seorang Salik secara mandiri dengan melakukan berbagai al-ibadah, al-mujahadah, dan al-ryadat, mulai darimaqam pertama sampai kepada maqam paling puncak. Sekadar contoh, Abi Nashr Abd Allahibn Ali al-Sarraj al-Thusi (w.988 M). Menyusun al-maqamat dari maqam pertama sampai maqam paling puncak, yang dimulai dari tobat (al-taubah), warak (wara), zuhud (al-zuhd),kefakiran (al-faqr), sabar (al-shabr), tawakal (al-tawakkul), sampai rida (al-ridha). Susunanal-maqamat menurut al-Ghazali adalah tobat (al-taubah), sabar (al-shabr), fakir (al-faqr),zuhud (al-zuhd), tawakal (al-tawakkul), cinta(al-mahabbah), dan rida (al-ridha). Perbedaan antara al-Thusi dan al-Ghazali adalah bahwa al-Ghazali tidak memasukkan wara’ dalam susunan al-maqamat nya, sedangkan al-Thusi tidak memasukkan al-mahabbah sebagai al-maqam.

Tobat (al-taubah)
Dalam bahasa Indonesia, tobat bermakna “sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan”. Maqam tobat (al-taubah) merupakan maqam pertama yang harus dilewati setiap salik dan diraih dengan menjalankan ‘ibadah, mujahadah, dan riyadhah. Dzun Nun al-Mishri menegaskan bahwa tobat dibagi menjadi tiga: “tobat kaum awam (al-amm) yakni tobat dari dosanya (taubah min al-zunuubi); tobat orang terpilih (al-khash) yakni tobat dari kelupaannya (al-ghaflah); dan tobat para nabi yakni tobat dari kesadaran mereka atas ketidakmampuan untuk mencapai apa yang telah dicapai orang lain. Menurut al-Qusyairi, tobat adalah awal pendakian dan maqam pertama dari sufi pemula. Menurutnya ,” tobat adalah kembali dari sesuatu yang dicela syariat menuju kepada sesuatu yang dipuji syariat. Tobat diharuskan memenuhi tiga syarat yaitu menyesali atas pelanggaran yang telah dibuat, meninggalkan jalan licin (kesesatan) pada saat melakukan tobat, dan berketetapan hati untuk tidak mengulangi pelanggaran-pelanggaran serupa. Junaid al-Baghdadi mengatakan bahwa “tobat memiliki tiga makna, yakni penyesalan, tekad meninggalkan segala larangan Allah Swt, dan berusaha memenuhi hak-hak semua orang yang pernah dizalimi.
Nashr al-Din al-Thusi, seorang sufi yang mumpuni dalam bidang filsafat dan sains, menurutnya, syarat tobat adalah pengetahuan terhadap jenis-jenis amal yang akan membawa manfaat (pahala) dan mudarat (dosa). Menurutnya, tobat terdiri atas tiga hal: tobat yang berhubungan dengan masa lalu,tobat yang berhubungan dengan masa kini, dan tobat yang berhunbungan dengan masa depan. Dalam hubungan dengan masa lalu, ada dua syarat tobat, yakni penyesalan terhadap dosa-dosa yang dilakukan di masa lalu, dan perbuatan yang menunjukkan penyesalan tersebut baik yang berhubungan dengan Allah, dengan diri sendiri, dan dengan orang lain. Dalam hubungan dengan masa kini, ada dua syarat tobat, yakni menahan diri dari melakukan dosa sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan melindungi orang lain dari kezaliman. Dalam hubungan dengan masa depan, ada dua syarat tobat, yakni membuat suatu iktikad untuk tidak melakukan dosa di masa depan, dan bersabar dengan iktikad tersebut sebab seseorang akan sangat mudah tergoda untuk melakukan dosa.
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, ada tiga syarat tobat: penyesalan, meninggalkanm dosa yang dilakukan, dan memperlihatkan penyesalan dan ketidakberdayaan.Menurut Ibn Qudamah, tobat merupakan ungkapan penyesalan atas segala dosanya kepada Allah dan dosanya kepada manusia.
Menurut al-Ghazali, tobat adalah meninggalkan dosa, dan tidak akan mungkin akan dapat meninggalkan dosa bila tidak mengenal macam-macam dosa, sedangkan hukum mengetahui macam-macam dosa adalah wajib.Manusia tobat dibagi menjadi empat tingkat. Pertama, seorang hamba melakukan maksiat dan bertobat, serta istikamah sampai akhir hidupnya. Inilah tingkat tobat para nabi dan rasul. Kedua, seorang hamba bertobat, istikamah menjalankan ibadah dan meninggalkan dosa-dosa besar, tetapi tidak dapat terlepas dari dosa-dosa yang dilakukan tanpa sengaja dan menyesali perbuatan dosa yang dilakukan tanpa sengaja tersebut. Ketiga, seorang hamba bertobat secara terus menerus sampai akhirnya nafsu syahwat mengalahkannya sehingga ia melakukan sebagian dosa. Hamba tersebut rajin beribadah, meninggalkan sejumlah dosa, meskipun terkadang kalah dengan godaan hawa nafsu sehingga melakukan sebagian dosa. Keempat, seorang hamba bertobat, tetapi akhirnya kembali melakukan perbuatan dosa, dan tidak menyesali perbuatannya tersebut.

Warak (wara’)
Kata warak berasal dari bahasa Arab, wara’a, yari’u, wara’an yang bermakna berhati-hati, tetapi dalam kamus bahasa Indonesia, warak bermakna “patuh dan taat kepada Allah”. Di dunia tasawuf, kata warak ditandai dengan kehati-hatian dan kewaspadaan tinggi.Dalam Sunan Ibn Majah misalnya disebutkan yang artinya:
“Dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw. berkata “wahai Abu Hurairah, jadilah seorang yang wara’, maka engkau akan menjadi hamba yang utama.Jadilah orang yang menerima apa adanya(qana’ah), maka engkau akan menjadi manusia yang paling bersyukur: Cintailah seseorang sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi mukmin yang sebenarnya.Perbaguslah hubungan tetangga bagi orang yang bertetangga kepadamu, maka engkau akan menjadi Muslim yang sebenarnya. Sedikitlah tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati”
Al-Qusyairi menjelaskan bahwa wara’ adalah meninggalkan segala hal yang syubhat. Ibrahim bin Adam berkata wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat dan segala hal yang tidak pasti yakni meninggalkan hal-hal yang tidak berfaedah.Yahya bin Mu’az berkata wara’  terbagi menjadi dua, wara’ lahir yaitu semua gerak aktivitas hanya tertuju kepada Allah Swt, dan wara’ batin yaitu hati yang tidak dimasuki apapun kecuali hanya mengingat Allah Swt. Yunus bin ‘Ubaid mengatakan, wara’ adalah menghindarkan diri dari segala bentuk syubhat dan memelihara diri dari segala bentuk arah pandangan. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, warak adalah menjaga diri dari perbuatan dan barang haram dan syubhat. Menurutnya, ada tiga derajat warak, yakni menjauhi keburukan karena hendak menjaga diri, memperbanyak kebaikan dan menjaga iman; menjaga hukum dari segala hal yang mubah, melepaskan diri dari kehinaan, dan menjaga diri agar tidak melampaui hukum; dan menjauhi segala sesuatu yang mengajak kepada perpecahan.
Zuhud (al-zuhd)
Kata zuhud berasal dari bahasa Arab, zahada, yazhudu, zuhdan yang artinya menjauhkan diri, tidak menjadi berkeinginan dan tidak tertarik. Dalam bahasa Indonesia, zuhud berarti “perihal meninggalkan keduniawian; pertapaan.” Dalam Alquran, kata zuhud memang tidak digunakan, melainkan kata al-zahidin digunakan sebanyak 1 kali yang disebut dalam Q.S. Yusuf/12: 20.
Dalam Q.S. al-Hadid/57: 20, Allah Swt. berfirman:
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”
Dalam kitab Sunan Ibn Majah, disebutkan yang artinya:
“Dari Abi Hazim dari Sahl ibn Sa’ad al-Sa’idi, dia berkata ada seseorang datang menemui Rasulullah, lalu berkata ya Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang jika aku kerjakan, Allah mencintaiku dan manusia mencintaiku? Maka Rasulullah Saw. berkata zuhudlah engkau terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu, niscaya mereka mencintaimu”.
Junaid mengatakan bahwa zuhud adalah “tangan seseorang kosong dari kepemilikan dan kekosongan hati dari ambisi”. Menurut al-Qusyairi, “zuhud adalah meninggalkan yang haram, karena yang halal dibolehkan oleh Allah Swt… zuhud adalah meninggalkan yang haram adalah wajib dan meninggalkan yang halal adalah keutamaan…” Abu ‘Ali al-Daqaq berkata, “zuhud adalah sikap anti kemewahan dunia…”.
Syibli berkata: “zuhud adalah meninggalkan segala bentuk kehidupan dunia untuk beribadah kepada Allah Swt.” Menurut Nashr al-Din al-Thusi, zuhud adalah tidak memiliki keinginan terhadap segala bentuk keduniawian seperti harta, pangkat, dan kekuasaan, bukan karena ketidakmampuan, dan bukan karena mengharapkan pujian. Ibn Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa zuhud dibagi menjadi tiga: zuhud terhadap hal-hal yang syubhat, zuhud terhadap hal-hal yang berlebihan, dan zuhud terhadap zuhud. Menurut al-Ghazali, zuhud adalah sikap tidak menyukai dunia, karena ingin berpaling kepada akhirat. Zuhud dapat berarti berpaling dari selain Allah untuk menuju kepada-Nya. Konsep zuhud kaum sufi klasik memang digugat oleh kaum modernis yang menilai ajaran zuhud sebagai biang kemunduran peradaban Islam modern.

Fakir (al-faqr)
Dalam terminologi alquran, istilah fakir berasal dari bahasa Arab, faqura, yafquru, faqran yang artinya miskin. Istilah faqr bermakna kemiskinan. Dalam bahasa Indonesia, fakir berarti “orang yang sangat berkekurangan, orang yang terlalu miskin, atau orang yang dengan sengaja membuat dirinya menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin”. 
Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan yang artinya:
“Memberitakan kepada kami Abu al-Walid, memberitakan kepada kami Salm ibn Zarir, memberitakan kepada kami Abu Raja dari ‘Imran ibn Hushain r.a. dari nabi Muhammad saw, beliau bersabda bahwa aku pernah mengamati di dalam surga, lalu aku melihat yang terbanyak penghuninya adalah orang-orang fakir, dan aku pernah mengamati di dalam neraka, lalu aku melihat yang terbanyak penghuninya adalah wanita.”

Dalam Sunan al-Turmudzi disebutkan yang artinya:
“Memberitakan kepada kami Abu Kuraib, memberitakan kepada kami al-Muharibi, dari Muhammad ibn ‘Amr dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah saw berkata bahwa orang-orang  fakir dari umat Islam akan masuk surga setengah hari sebelum orang-orang kaya, yaitu waktu yang lamanya lima ratus tahun.”

Mengenai makna fakir, al-Kalabazi berkata “fakir adalah orang tidak boleh mencari mata pencaharian, kecuali orang itu khawatir tidak mampu melaksanakan tugas keagamaan”. Al-Nuri berkata “fakir adalah orang yang harus bungkam ketika tidak memiliki sesuatu, bermurah hati dan tidak hanya memikirkan diri sendiri ketika memiliki sesuatu”. Menurut Nashr al- Dhin al- Thusi, fakir dalam kajian tasawuf adalah “seseorang tidak memiliki kecintaan terhadap kekayaan dan hiasan duniawi, dan jika ia memilikinya maka ia tidak berkeinginan untuk menyimpan dan mengumpulkannya”. Menurut Ibn Qayyim al- Jauziyah, fakir tidak bermakna menafikan kekayaan dan harta, sebab para nabi dan rasul adalah orang-orang kaya dan memiliki kekuasaan, tetapi makna fakir adalah seorang hamba senantiasa memiliki kebutuhan terhadap Allah swt dalam keadaan apapun. Hakikat fakir adalah tidak membutuhkan kepada segala hal dan hanya membutuhkan Allah swt dalam berbagai keadaan. Menurut Ibn Qudamah, derajat tertinggi dalam fakir adalah seorang salik benci kepada harta (zuhud) dan tidak merasa senang dengan harta (rida).
Menurut al- Ghazali, fakir dapat bermakna tidak memiliki harta. Menurutnya, ada lima tingkatan fakir, dua diantaranya yang paling tinggi derajatnya, yakni seorang hamba yang tidak suka diberi harta, merasa tersiksa dengan harta, dan menjaga diri dari kejahatan dan kesibukan untuk mencari harta; dan seorang hamba tidak merasa senang bila mendapatkan harta, dan tidak merasa benci bila tidak mendapatkan harta.

Sabar (al- shabr)
Kata sabar berasal dari bahasa Arab, shabara, yashbiru, shabran, maknanya adalah mengikat, bersabar, menahan diri dari larangan hukum, dan menahan diri dari kesedihan. Dalam bahasa Indonesia, sabar bermakna “tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati), dan tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, dan tidak terburu nafsu”.

Allah swt berfirman Q.S. al-Anfal/ 8: 46 yang artinya,
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”



Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan yang artinya:

“Memberitakan kepada kami Muhammad ibn Basysyar al-Abdi, mengabarkan kepada kami Muhammad ibn Ja’far, memberitakan kepada kami Syu’bah dari Tsabit, ia berkata aku mendengar Anas ibn Malik mengatakan bahwa Rasulullah saw berkata sabar yang sempurna adalah pada pukulan (saat menghadapi cobaan) yang pertama.”

Dzun al- Nun al- Mishri, misalnya, pernah mengatakan bahwa “sabar adalah menjauhi hal-hal yang bertentangan, bersikap tenang ketika menelan pahitnya cobaan, dan menampakkan sikap kaya dengan menyembunyikan kefakiran dalam kehidupan”. Ibn ‘Atha berkata: “sabar adalah tertimpa cobaan dengan tetap berperilaku baik”. Sebagian ulama, kata al-Qusyairi, berkata: “sabar adalah tertimpa cobaan dengan tetap bersikap baik dalam pergaulan sebagaimana keadaan sehat.” Menurut Nashr al-Din al-Thusi, sabar secara harfiah bermakna “mencegah jiwa dari perasaan waswas ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.” Al-Thusi membagi sabar menjadi tiga jenis: sabar kaum awam, yakni menjaga jiwa agar tetap kokoh dalam kesabaran dan tetap konsisten dalam kekuatannya; kesabaran kaum zuhud, yakni rasa takut dan sikap sabar kepada Allah dalam harapan untuk memperoleh ganjaran di akhirat; dan kesabaran ahli hikmah, yakni merasakan kebahagiaan walaupun ditimpa musibah. Al-Ghazali, Ibn Qudamah, dan Ibn Qayyim al-Jauziyah membagi sabar menjadi 3: sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari godaan untuk melakukan perbuatan maksiat, dan sabar atas musibah dari Allah swt.

Tawakal (al-tawakkul)
Berasal dari bahasa Arab, wakila, yakilu, wakilan yang berarti “mempercayakan, memberi, membuang urusan, bersandar, dan bergantung”.. Dalam bahasa Indonesia, tawakal adalah “pasrah diri kepada kehendak Allah; percaya dengan sepenuh hati kepada Allah (dalam penderitaan dan sebagainya), atau sesudah berikhtiar baru berserah kepada Allah”. 

Allah swt berfirman dalam Q.S. Ali Imran/3: 159 yang artinya:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadanya.”

Dalam Sunan al-Turmudzi disebutkan yang artinya:

“Dari ‘Umar ibn al-Khaththab, ia berkata bahwa Rasulullah saw berkata sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, pasti Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung, pagi hari pergi dalam keadaan lapar dan sore hari pulang dalam keadaan kenyang.”

Hamdun al-Qashshar berkata “tawakal adalah berpegang teguh kepada Allah swt”. Sahl bin ‘Abd Allah al-Tustari berkata, “tawakal adalah melepaskan segala apa yang dikehendaki dengan menyandarkan diri kepada Allah swt”. Abu Ya’qub Ishaq al-Nahr al-Jauzi berkata, “tawakal adalah menyerahkan diri kepada Allah swt dengan sebenarya…” Abu Ali al-Daqaq berkata, “tawakal kepada Allah swt memiliki tiga tingkat, yakni tawakal, taslim, dan tafwidh. Orang yang tawakal adalah orang yang merasa tenang dengan janji Allah swt. Orang yang taslim adalah orang yang merasa cukup dengan ilmu-Nya. Orang yang tafwidh adalah orang yang rela dengan hukum-Nya. Jadi, tawakal adalah permulaan, taslim adalah pertengahan, dan tafwidh adalah akhir.
Menurut Nashr al-Din al-Thusi, tawakal adalah “mempercayakan semua urusan kepada Allah, dan keyakinan Allah memiliki kearifan dan kekuasaan untuk menjalankan segala urusan sesuai pengaturan-Nya…tawakal tidak bermakna bahwa seorang hamba tidak melakukan apapun dengan alasan menyerahkan semua urusan kepada Allah, tetapi tawakal bermakna bahwa setiap orang harus mempercayai bahwa segala sesuatu selain Allah pasti berasal dari Allah, dan segala sesuatu bekerja sesuai hubungan sebab-akibat”. Menurut Ibn Qudamah, ada tiga derajat tawakal: menyerahkan diri hanya kepada Allah swt dan selalu mengharapkan pertolongan-Nya; pasrah dan tidak bersandar kecuali hanya kepada Allah seperti seorang anak yang hanya bersandar kepada ibunya; dan tidak berpisah dengan Allah swt dan melihat diri sendiri seperti orang mati yang posisinya seperti kepasrahan mayit di tangan orang-orang yang memandikannya. Akan tetapi, tawakal tidak menafikan usaha, sebab usaha menjadi sangat penting dalam Islam.

Cinta (al-mahabbah)
Menurut al-Ghazali, al-mahabbah adalah al-maqam sebelum rida. Kata cinta disebut Alquran secara berulang kali, meskipun tidak hanya dalam makna cinta kepada Allah swt sebagaimana yang dimaksudkan oleh kaum sufi. Kata hub disebut Alquran sebanyak 99 kali dalam berbagai bentuk kata, antara lain hubb dan yuhibbu, sedangkan dalam kata al-mahabbah tidak digunakan  Alquran.

Dalam Q.S. al-Baqarah/2: 165, Allah swt berfirman yang artinya:

“Dan diantaraa manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal)”

Dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 31, Allah swt berfirman yang artinya:

“Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dalam Shahih Muslim, disebutkan yang artinya:

“Menceritakan kepada kami Zuhair ibn Harb, menceritakan kepada kami Jarir, dari Suhail, dari ayahnya, dari Abi Hurairah, ia berkata Raulullah saw bersabda jika Allah mencintai hamba-Nya, Allah berkata kepada jibril ‘wahai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai fulan, maka cintailah dia.’ Maka Jibril pun mencintainya, kemudian menyeru kepada para penduduk langit, lalu berkata
‘sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah dia!’ Kemudian Allah memberikan pengabulan kepadanya di bumi.”

Sedangkan makna al-mahabah dalam tasawuf dapat dilihat dari ucapan kaum sufi. Junaid al-Baghdadi, misalnya, berkata “cinta adalah masuknya sifat-sifat kekasih pada sifat-sifat mencintai”. Muhammad bin ‘Ali al-Kattani berkata “cinta mengutamakan yang dicintai”. Husain al-Manshur al-Hallaj berkata bahwa “hakikat cinta itu jika kamu berdiri bersama kekasihmu dengan menanggalkan sifat-sifatmu”. Muhammad bin al-Fadhal al-Farawi berkata “cinta itu adalah runtuhnya semua cinta dalam hati kecuali kepada kekasih”. Menurut ibn Qudamah, tanda cinta kepada Allah swt adalah senantiasa berzikir kepada Allah; gemar mengasingkan diri hanya untuk bermunajat kepada-Nya seperti membaca Alquran dan tahajud; merasa rugi bila melewatkan waktu tanpa menyebut nama-Nya; dan menyayangi semua hamba Allah, mengasihi mereka dan bersikap tegas terhadap musuh-musuh-Nya. Menurut al-Ghazali, mengutip pendapat Yahya bin Mu’az, indikator seorang hamba mencintai Allah swt adalah mengutamakan perkataaan Allah daripada perkataan manusia, mengutamakan bertemu dengan Allah daripada bertemu dengan makhluk, dan mengutamakan ibadah dengan Allah swt daripada melayani manusia.

Rida (al-ridha)
Kata rida berasal dari kata radhiya, yarda, ridhawan, yang artinya “senang, puas, memilih, persetujuan, menyenangkan, dan menerima”. Dalam kamus bahasa Indonesia, rida adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat”. 

Dalam Q.S. al-Maidah/5: 119, Allah berfirman yang artinya:

“Allah berfirman bahwa hari ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka yang kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.”

Dalam Q.S. al-Taubah/9: 100, Allah Swt, berfirman yang artinya:

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”
Dalam Shahih Muslim, disebutkan yang artinya:

“Dari al-Abbas ibn Abd al-Muththalib, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah Saw. mengatakan bahwa akan merasakan nikmatnya iman siapa saja yang rida bilaa Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai rasulnya.”

Ibn Khatib mengatakan bahwa “rida adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir)  Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala. Menurut al-Hujwiri, rida terbagi menjadi dua macam: rida Allah terhadap hambanya, dan rida hamba terhadap Allah Swt. Rida Allah terhadap hamba-Nya adalah dengan cara memberikan pahala, nikmat, dan karamah-Nya, sedangkan rida hamba kepada Allah adalah melaksanakan segala perintah-Nya dan tunduk atas segala hukum-Nya. Harits al-Muhasibi berkata, “rida adalah ketentraman hati atas ketetapan takdir”. Ibn Atha’ berkata “ridha adalah penghargaan hati atas pilihan Allah untuk hamba-Nya sebab pilihan-Nya itu adalah pilihan terbaik”. Abu ‘Ali al-Daqaq berkata, “rida adalah tidak menentang hukum dan keputusan Allah Swt”. Dzun al-Nun al-Mishri berkata “tanda-tanda tawakal ada tiga, yakni meninggalkan usaha sebelum keputusan, menghilangkan kepahitan sebelum keputusan, dan cinta apabila mendapatkan cobaan. Abu ‘Umar al- Dimsyaqi berkata, “rida adalah meninggalkan keluh kesah ketika hukum telah diberlakukan.” Ruwaim berkata, “rida adalah menerima hukum dengan senang hati.”
Harits al-Muhasibi berkata, “rida adalah tenangnya hati atas berlakunya hukum”. Al-Nuri berkata, “rida adalah senangnya hati karena menerima keputusan pahit”. Menurut Nashr al-Dhin al-Thusi, rida adalah “tidak merasa kecewa, baik secara lahiriah maupun batiniah, dan baik hati, perkataan maupun perbuatan, atas segala yang terjadi dalam diri hamba, dengan harapan Allah akan senang sehingga Allah akan membebaskannya dari murka dan hukuman-Nya. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, rida memiliki dua derajat: rida kepada Allah Swt sebagai rabb dan membenci ibadah kepada selain-Nya; dan rida terhadap qada dan qadar Allah swt. Menurut Ibn Qudamah, makna rida adalah seorang hamba menyadari bahwa pengaturan Allah Swt. lebih baik dari pengaturan manusia; dan rida atas penderitaan, karena di balik penderitaan ada pahala apalagi penderitaan itu berasal dari Allah Swt. sebagai kekasihnya.
D. Al-Maqam Lainnya
Al-Kalabazi mengatakan bahwa sebagian sufi membagi makrifat menjadi dua, yakni al-ma’rifat haq yang berarti penegasan keesaan Allah atas sifat-sifat yang dikemukakan-Nya; dan maqrifat haqiqah yang bermakna makrifat yang tidak bisa dicapai dengan sarana apapun, sebab sifat-Nya tidak dapat ditembus dan ketuhanan-Nya tidak dapat dipahami. Menurutnya, makrifat bermakna “hati (al-sirr) menyaksikan kekuasaan Allah Swt. dan merasakan besarnya kebenaran-Nya dan mulianya kehebatan-Nya yang tidak bisa diungkap dengan ibarat apapun. Al-Qusyairi menjelaskan bahwa maksud para sufi dari istilah makrifat adalah “sifat dari orang-orang yang mengenal Allah Swt. dengan nama dan sifat-Nya, dan membenarkan Allah Swt. dengan melaksanakan ajaran-Nya dalam segala perbuatan… Makrifat adalah pengosongan diri untuk selalu mengingat Allah Swt, tidak menyaksikan selain menyaksikan-Nya, dan tidak kembali kepada selain-Nya. Nashr-Din al Thusi menjelaskan bahwa makrifah adalah derajat tertinggi pengetahuan tentan Allah Swt. dan pengetahuan tentang-Nya memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan makrifat paling tinggi dimiliki oleh kaum ‘urafa, ahl al-yaqin, dan ahl-al hudhur yang menyaksikan-Nya secara langsung (dengan hati). Bagi sebagian sufi, makrifah lebih tinggi dari rida.
Sebagian sufi lain menghadirkan ajaran lain mengenai al-maqam tertinggi. Al-Hallaj mengenalkan paham al-hulul, Abd Yazid al-Bistami memiliki ajaran tentang al-ittihad, dan Ibn ‘Arabi mengajarkan paham wahdah al-wujud yang dielaborasi lebih lanjut oleh Mulla Shadra. Ketiga teori ini memang mendapatkan penolakan dari banyak fukaha dan teolog Sunni, tetapi diterima oleh mayoritas fukana Syiah.
E. Mengenal al-Ahwal
Al-Ahwal tidak diraih secara mandiri, melainkan anugrah dari Allah Swt. dan keadaannya tidak kekal dalam diri seorang  salik.

Al-Muraqabah
Menurut al-Qusyairi, muraqabah didasari oleh Q.S. al-Ahzab/33: 52, serta hadis Nabi Muhammad Saw. mengenai al-iman, al-Islam, dan al-Ihsan, di mana makna al-ihsan (fa’illam takun tarahu fa innahu yaraka) merupakan isyarat dari muraqabah yang merupakan ilmu hamba untuk melihat Allah Swt, dan hati meyakini bahwa Allah Swt. Maha Pengawas, mengetahui keadaannya, melihat perbuatannya,dan mendengar ucapannya. Keadaan ini dirasakan ketika salik mengawasi diri sendiri terhadap segala perbuatannya di masa lalu, memperbaiki diri sendiri di masa kini, selalu berada di jalan kebenaran, mengadakan hubungan baik dengan Allah Swt. sambil menjaga hati, menjaga jiwa agar selalu berhubungan dengan-Nya, dan memelihara-Nya dari segala hal. Dengan demikian, seorang hamba memiliki keadaan al-muraqabah, yakni keyakinan seorang salik bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah Swt. dalam berbagai aktivitasnya, sehingga ia hanya akan melakukan amal kebaikan dalam hidupnya, dan membenci dan tidak akan ingin melakukan perbuatan maksiat dan dosa.

Takut (al-khauf)
Kata takut disebut Alquran baik dalam bentuk al-khauf  maupun dalam bentuk al-khasyiya, meskipun maknanya tidak hanya berarti takut kepada Allah.
Dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 175, Allah Swt. berfirman yang artinya:

“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang beriman.”
Dalam Q.S. al-Sajadah/32: 16, Allah Swt. berfirman yang artinya:

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezki yang kami berikan  kepada mereka.”

Dalam Shahih al-Bukhari, disebutkan yang artinya:

“Dari Abi Hurairah berkata bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda bahwa tidak akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah ssebelum ada air susu yang masuk pada payudara, dan tidak dapat berkumpul debu-debu dalam perang di jalan Allah dan asap api neraka Jahannam.”
Menurut al-Qusyairi, “makna takut kepada Allah Swt. adalah takut kepada siksaan-Nya, baik di dunia maupun akhirat.” Abu al-Qasim al-Hakim mengatakan, “khauf memiliki dua bentuk: rahbah yakni orang yang berlindung kepada Allah Swt; dan khasyyah yakni orang yang ditarik kendali ilmu dan melaksanakan kebenaran. Berdasarkan pendapat mereka, al-khauf  berarti seorang hamba hanya takut kepada Allah Swt, dan tidak takut kepada selain-Nya. Takut kepada Allah Swt. adalah takut atas siksaan-Nya, sehingga seorang hamba akan melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Harap (al-raja’)

Menurut al-Qusyariri, raja adalah ”ketergantungan hati pada sesuatu yang dicintai yang akan terjadi di masa yang akan datang”.  ‘Abd Allah bin Khubiq berkata “raja” terdiri atas tiga bentuk: orang yang mengerjakan pekerjaan baik dan berharap dapat diterima; orang yang mengerjakan perbuatan jahat dan bertaubat; dan berharap mendapatkan ampunan; dan orang yang berdusta dan tidak mengulangi dosa, seraya mengharapkan ampunan. Jadi, konsep al-raja’ bermakna harapan seorang sufi kepada Allah Swt., berharap semua amal, tobat, dan ampunannya diterima Allah Swt.

Rindu (al-syawq)
Menurut al-Ghazali, orang yang memungkiri hakikat cinta kepada Allah Swt, maka pasti ia akan memungkiri hakikat cinta kepada Allah Swt., maka pasti ia akan memungkiri hakikat rindu. Apabila seorang hamba mencintai Allah Swt., maka ia pasti akan merindukan untuk bertemu dan melihat-Nya. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. al-‘Ankabut/29: 5 yang artinya:

“Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang Dialah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”

Dalam Shahih Muslim, disebutkan yang artinya:

“Dari ‘Ubaidah ibn al-Shamit, sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. berkata bahwa barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya. Barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak akan senang bertemu dengannya.”

Al-Qusyairi, mengatakan bahwa “rindu adalah keguncangan hati untuk menemui yang dicintai (Allah Swt). Cinta sangat bergantung kepada rindu. Abu ‘Ali al-Daqaq mengatakan bahwa “al-syawq adalah kerinduan yang bisa reda dengan bertemu dan melihat (Allah Swt). Dua pendapat sufi ini menegaskan bahwa rindu merupakan keinginan kuat hati untuk menemui dan melihat Kekasih sejatinya, yakni Allah Swt.









































INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS

A. Integrasi dalam Sejarah Islam
Center for Islamic Philosophical Studies and Information (CIPSI) pernah menyebut 261 ilmuwan, teolog, dan saintis Muslim yang menguasai banyak bidang, baik ilmu-ilmu kewahyuan maupun ilmu-ilmu rasional dan empirik. Dalam sejarah Islam, ditemukan seorang ahli astronomi, ahli biologi, ahli matematika, dan ahli arsitektur yang mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu keislaman seperti tauhid, fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf.
Al-Jahiz (w.869) adalah ahli dalam bidang sastra Arab, biologi, zoologi, sejarah, filsafat, psikologi, teologi, dan politik. Al-Kindi(w.873 M) menguasai seluruh cabang filsafat seperti metafisika, etika, logika, psikologi, kedokteran, farmakologi, matematika, astrologi, optik, zoologi, dan meteorologi. Al-Razi (w.925) adalah ahli dalam bidang filsafat, kimia, matematika, sastra, dan kedokteran. Al-Farabi (w.950) menguasai berbagai cabang filsafat, antara lain metafisika, etika, logika, matematika, musik, dan politik. Ibn Bajjah (w.1138) adalah tokoh yang dikenal sebagai seorang astronom, filsuf, musisi, dokter, fisikawan, psikolog, dan botanis. Ibn Thufail (w.1185) juga seorang ahli filsafat, kedokteran, dan hukum Islam. Al-Ghazali (w.1111) adalah seorang teolog, filsuf, dan sufi. ‘Umar Khayyam (w.1131) adalah matematikawan, astronom, dan sufi. Ikhwan al-Shafa’ (abad 10 masehi) adalah kelompok filsuf yang menguasai filsafat, psikologi, biologi, dan fisika. Ibn al-Haitsman (w.1039) merupakan tokoh dalam bidang falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Al-Biruni (w.1084) merupakan matematikawan, astronom, fisikawan, filsuf, sejarawan, ahli farmasi, dan dokter. Ibn Rusyd (w.1198) adalah pakar kedokteran, hukum Islam, matematika, dan filsafat. Ibn Sina (w.1037) menguasai filsafat, kedokteran, astronomi, kimia, geografi, geologi, psikologi, logika, matematika, fisika, dan puisi. Fakhr al-Dhin al-Razi (w.1209) dikenal sebagai ahli filsafat, tasawuf, kedokteran, tafsir, dan fikih. Di antara prestasi besar mereka sebagai ilmuwan Muslim adalah kemampuan mereka menguasai dan mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional, ilmu-ilmu empirik, dan ilmu-ilmu kewahyuan. Kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu religius adalah dampak dari keyakinan bahwa ilmu-ilmu religius merupakan ilmu-ilmu fardh al-‘ain yang wajib dikuasai dan diamalkan setiap muslim apapun profesi mereka. Kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu rasional dan empirik adalah bahwa semua ilmu tersebut dikategorikan sebagai ilmu fard al-kifayah yang diwajibkan kepada sebagian Muslim; atau kemungkinan tidak lebih dari sekedar profesi dan minat mereka untuk menguasai dan mengembangkannya atas dasar perintah agama.
Selain dari mazhab Peripatetik, sejarah Islam menyebutkan keberadaan para filsuf dari mazhab Isyraqiyah dan mazhab Hikmah al-Muta’aliyah yang sukses mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional dengan ilmu-ilmu kewahyuan. Di antara mereka adalah Suhrawardi (w.1191) yang dikenal ahli filsafat, tasawuf, Zoroastrianisme, dan Platonisme. Nashr al-Din al-Thusi (w.1274) merupakan pakar dalam bidang astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, fisika, teologi, tasawuf, dan hukum Islam. Quthb al-Din al-Syirazi (w.1311) cukup dikenal sebagai ahli dalam bidang astronomi, matematika, kedokteran, fisika, musik, filsafat, dan tasawuf. Mulla Shadra (w.1640) adalah seorang pakar teologi, hukum Islam, tafsir dan hadis, selain menguasai filsafat dan tasawuf. Baha’ al-Din Amili (w.1621) merupakan seorang fakih, ahli hadis, filsuf, matematikawan, dan arsitek.
Meskipun mereka seorang filsuf dan saintis, perilaku hidup mereka merupakan realisasi terhadap teori mereka mengenai filsafat dan sufisme. Dapat disimpulkan bahwa mereka sukses mengintegrasikan antara dua jenis ilmu tersebut, dan mengintegrasikan keduanya dengan keyakinan dan perilaku hidup mereka sehari-hari.

B. Integrasi dalam Ranah Ontologi
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, ont yang bermakna keberadaan, dan logos yang bermakna teori, sedangkan dalam bahasa Latin disebut ontologia, sehingga ontologi bermakna teori keberadaan sebagaimana keberadaan tersebut. Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang merupakan bagian dari filsafat; dan membahas teori tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan karakteristik  esensial keberadaan. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu tentang teori keberadaan, dan istilah ontologi ditujukan kepada pembahasan tentang objek kajian ilmu.
Dilihat dari karya-karya Ibn ‘Arabi, Suhrawardi, dan Mulla Shadra. Dapat dilihat titik singgung antara tasawuf (falsafi) dengan sains, sebab tasawuf juga memberikan perspektif tasawuf mengenai hakikat alam dan manusia, sebagaimana sains juga hendak mengkaji dan menelaah fenomena-fenomena alam, terutama berbagai persoalan tentang mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia. 
Berbeda dari saintis Barat sekuler, para filsuf Muslim dan sufi berpendapat bahwa ada hubungan erat antara alam dengan Allah Swt. Menurut Ibn ‘Arabi (w.1240), alam diciptakan Allah Swt. melalui proses tajalli (penampakan diri)-Nya pada alam empiris yang majemuk. Tajalli Allah Swt. mengambil dua bentuk: tajalli dzati dalam bentuk penciptaan potensi; dan tajalli syuhudi dalam bentuk penampakan diri dalam citra alam semesta. Alam merupakan bayangan dari wujud Allah Swt., penampakan dari nama dan sifat-Nya, sedangkan manusia yang telah mencapai kedudukan insan al-kamil merupakan wadah tajalli-Nya, selain berkedudukan sebagai khalifah-Nya dan wali tertinggi (quthb). Teori Ibn ‘Arabi tentang alam didasari oleh doktrinnya tentang kesatuan wujud (wahdat al-wujud) dan tajalli. Ibn Sina dari mazhab Masysya’iyah, Suhrawardi yang mendirikan mazhab Isyraqi, dan Mulla Shadra dari mazhab Hikmah al-Muta’aliyah memberikan penjelasan bahwa alam  material tidak mandiri, melainkan disebabkan oleh wujud Allah Swt, dan selalu berada dalam pengawasan dan pengaturan-Nya. Ibn Sina, Suhrawardi dan Mulla Shadra menegaskan bahwa seluruh elemen dunia material (mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia) adalah akibat dari dunia spiritual memilliki jiwa (al-nafs) masing-masing. Dari perspektif Ibn ‘Arabi, alam merupakan manifestasi sifat-sifat Allah Swt. dan cermin bagi-Nya. Saintis Muslim sebagai peneliti alam empirik (terutama dunia mineral, tumbuhan, binatang, dan manusia) harus menyadari bahwa alam merupakan ciptaan dan manifestasi Allah Swt; dan ajaran Islam mengajarkan bahwa alam merupakan tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan-Nya, sehingga penelitian terhadap alam diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh keimanan terhadap-Nya, bukan menjauhkan manusia dari-Nya sebagaimana ditemukan dalam banyak teori ilmuwan-ilmuwan Barat-sekular.

C. Integrasi dalam Ranah Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang bermakna pengetahuan, dan logos yang bermakna ilmu atau eksplanasi, sehingga epistemologi berarti teori pengetahuan. Epistemologi dimaknai sebagai cabang filsafat yang membahas pengetahuan dan pembenaran, dan kajian pokok epistemologi adalah makna pengetahuan, kemungkinan manusia meraih pengetahuan, dan hal-hal yang dapat diketahui. Runes menjelaskan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang menelusuri asal (sumber), struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi adalah ilmu tentang tata cara mendapatkan ilmu.
Kajian-kajian ilmu-ilmu alam mengandalkan metode observasi dan eksperimen yang disebut dalam epistemologi Islam sebagai metode tafribi, sedangkan kajian tasawuf mengandalkan metode ‘irfani yang biasa disebut metode tazkiyah al-nafs. Meskipun ada perbedaan metode, tetapi kedua metode bisa melengkapi dan mendukung satu sama lain. Sebagian sufi memanfaatkan metode ‘irfani untuk mendapatkan pemahaman mendalam mengenai dunia metafisik dan dunia fisik (mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia). Dari pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi bisa dilihat manfaat metode ‘irfani dalam kajian ilmu-ilmu intelektual dan ilmu-ilmu empirik. Dalam kitabnya, Risalah al-Anwar fi ma Yumnah Shahib al-Khalwah min al-Asrar. Ibn ‘Arabi menceritakan hasil dari berbagai zikirnya. Melalui zikir, Ibn ‘Arabi mampu menembus berbagai dunia, mulai dari dunia fisik sampai dunia gaib. Pada zikir awal, Ibn ‘Arabi dibawa ke dunia mineral dan manfaat medisnya. Ketika terus melanjutkan zikirnya, Ibn ‘Arabi dibawa ke duniaa tumbuh-tumbuhan, dan ia dikenalkan pada berbagai jenis dan manfaat tumbuhan tersebut. Zikir selanjutnya membawa Ibn ‘Arabi menuju dunia hewan, dunia manusia, bahkan 23 jenis dunia gaib, dan ia sendiri memperoleh banyak sekali pengetahuan tentang berbagai dunia tersebut. Menurut informasi, Ibn Sina akan melakukan solat di masjid jika menemukan persoalan-persoalan rumit dalam filsafat dan sains. Dengan demikian, sufi seperti Ibn ‘Arabi dan filsuf seperti Ibn Sina memanfaatkan praktik-praktik ibadah yang kerap dilakukan oleh kaum sufi seperti zikir dan salat untuk mendapatkan ilmu mengenai banyak hal, terutama pemahaman terhadap dunia fisik dan non-fisik. Dari aspek ini, saintis Muslim, meskipun lebih banyak mengedepankan metode tajribi (observasi dan eksperimen) dalam mengembangkan ilmu-ilmu alam, tetap perlu mengambil metode tasawuf dalam menemukan ilmu dan kebenaran, dimana kaum sufi mengutamakan metode tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa) dengan melaksakan berbagai ritual ibadah (al-ibadah) termasuk zikir, serta melakukan praktik riyadhah dan mujahadah. Dari perspektif Islam, kesucian jiwa manusia menjadi syarat utama untuk memperoleh ilmu secara langsung dari sumber asalnya, yaitu Allah Swt. yang diketahui memiliki sifat al-‘Alim.

D. Integrasi dalam Ranah Aksiologi
Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios yang bermakna nilai, logos yang berarti teori. Aksiologi bermakna teori nilai, investigasi terhadap asal, kriteria, dan status metafisik dari nilai tersebut. Sebab itu, aksiologi disebut dengan teori nilai. Aksiologi juga dimaknai sebagai studi tentang manfaat akhir dari segala sesuatu. Aksiologi membahas tentang nilai kegunaan ilmu, tujuan pencarian dan pengembangan ilmu, kaitan antara penggunaan dan pengembangan  ilmu dengan kaedah moral, serta tanggung jawab sosial ilmuwan. Kajian aksiologi lebih ditujukan kepada pembahasan manfaat dan kegunaan ilmu, dan etika akademik ilmuwan.
Konsep al-maqamat dan al-ahwal dapat menjadi semacam etika profesi seorang saintis sebagai ilmuwan Muslim. Sekadar contoh, seorang saintis Muslim, sebagaimana ilmuwan Muslim klasik, harus menampilkan kehidupan sufistik seperti sikap zuhud, warak, sabar, tawakkal, cinta, fakir, dan rida dalam menjalankan kegiatan akademik maupun dalam kehidupan sosialnya. Meskipun memiliki banyak kekayaan material, seorang saintis Muslim masa depan harus bersikap zuhud dan fakir, dan menolak harta yang syubhat dan haram. Seorang saintis Muslim harus zuhud dan fakir, dalam arti bahwa ia menampilkan hidup sederhana meskipun memiliki banyak harta; dan bersikap dermawan. Seorang saintis Muslim harus memiliki sikap sabar (sabar dalam beribadah [termasuk kegiatan riset yang didasari oleh etika religius], sabar dalam menghadapi musibah, dan sabar dari godaan untuk melakukan dosa dan maksiat). Seorang saintis Muslim harus tawakkal, artinya menyerahkan hasil kegiatan akademik dan sosialnya hanya kepada Allah Swt. setelah berbagai usaha yang dilandasi syariat telah dilakukan secara maksimal. Seorang saintis Muslim harus memiliki sifat cinta, artinya ia hanya melaksanakan seluruh aktivitas keilmuwan dan sosialnya atas dasar kecintaan kepada Allah Swt., bukan demi meraih simpati dan apresiasi dari manusia. Seorang saintis Muslim harus memiliki sikap rida, artinya menerima dengan tentram, tenang, dan bahagia atas segala capaian dan hasil dari kegiatan akademik dan sosialnya, meskipun capaian dan hasil tersebut tidak sesuai dengan rencana awal, sembari tetap meyakini bahwa keputusan tersebut berasal dari Allah Swt. dan harus diterima dengan lapang dada, serta meyakini bahwa keputusan-Nya adalah keputusan terbaik, untuk kemudian tetap berusaha untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan sejak awal. Dengan demikian, saintis Muslim masa depan dituntut untuk mengail kearifan dalam ajaran tasawuf, dan dapat menginternalisasikannya dalam kehidupan akademik dan sosialnya.




















DAFTAR PUSTAKA

Ja’far. 2016. “Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi”. Medan: Perdana 
           Publishing 


Senin, 12 Juni 2017

Tokoh dan Pusat Tarekat di Sumatra Utara

TOKOH DAN PUSAT TAREKAT SUMATERA UTARA


KUNJUNGAN KE TAREKAT NAQSYABANDIYAH
YAYASAN JABAL QUBIS
TANJUNG MORAWA
Jalan  Medan – Lubuk Pakam, km. 18,5
Desa Dagang Kelambir, Dusun II Gang Wakaf
Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang
Provinsi Sumatera Utara
INDONESIA


Disusun oleh :
DOLI RAMADHAN
NIM : 0705163027

Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Dr. Ja’far, M.A
Program Studi : Fisika-1
Semester : II

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN SUMATERA UTARA
2017










BAB I

PENDAHULUAN


Tarekat (Bahasa Arab: طرق, transliterasi: Tariqah) berarti "jalan" atau "metode", dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme dalam Islam. Ia secara konseptual terkait dengan ḥaqīqah atau "kebenaran sejati", yaitu cita-cita ideal yang ingin dicapai oleh para pelaku aliran tersebut. Seorang penuntut ilmu agama akan memulai pendekatannya dengan mempelajari hukum Islam, yaitu praktik eksoteris atau duniawi Islam, dan kemudian berlanjut pada jalan pendekatan mistis keagamaan yang berbentukṭarīqah. Melalui praktik spiritual dan bimbingan seorang pemimpin tarekat, calon penghayat tarekat akan berupaya untuk mencapai ḥaqīqah (hakikat, atau kebenaran hakiki).
Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang memiliki cukup banyak pengikut di indonesia. Naqsyabandiyah sendiri berasal dari kata ’Naqsyaband’ yang merupakan gelar pendirinya, Syah Naqsyaband. Sementara tambahan –yah, merupakan ya nisbah, yang berarti pengikut. Sehingga makna Naqsyabandiyah berarti pengikut Syah Naqsyaband.




















BAB II
PEMBAHASAN


1.      Sejarah Singkat Pendiri Yayasan Jabbal Qubis
Yayasan Jabal Qubis didirikan oleh Saidi Syekh H. Amir Damsar Syarif Alam berdasarkan Akte Notaris Muchtar SH No. 1 tanggal 13 Oktober 1999 di Tanjung Morawa, Kab.Deli Serdang, Sumatera Utara, bertujuan untuk melaksanakan pembinaan rohani, mental spritual masyarakat dari semua kalangan.
Saidi Syekh H. Amir Damsar Syarif Alam, adalah Guru Besar Thariqat Naqsyabandiyah Silsilah ke-35 turunan Koto Tuo, Kumpulan, Bonjol, Sumatera Barat. Beliau dilahirkan tanggal 25 Nopember 1927 di Losung Batu, Padang Sidempuan Kabupaten Tapanuli Selatan, dan merupakan putra Raja Mananti bin Mangaraja Enda bin Patuan Na Sati yang memerintah di Kerajaan Losung Batu Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan sebelum kolonialis Belanda menginjakkan kakinya di Persada Tanah Air. Ibundanya juga adalah seorang Putri Raja.
Padang Sidempuan sebagai ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, dulunya adalah wilayah Kerajaan Losung Batu, yang memegang tampuk pemerintahan atau Kerajaan berfalsafahkan “DALIHAN NATOLU” yang secara ringkas artinya adalah “dari merekalah Rajanya (Umarohnya) dari kalangan merekalah ulamanya, dari kalangan mereka pulalah Panglimanya”.
Melihat dari darah keturunannya, almarhum Saidi Syekh H. Amir Damsar Syarif Alam tentu memiliki tetesan darah umarohnya dan tetesan darah panglimanya. Beliau pernah bekerja di bagian Administrasi/tata usaha di berbagai perusahaan dan pernah menjadi anggota Polisi Militer dari tahun 1945 s/d 1950. Namun tetesan darah Ulamanya lebih berpengaruh, yaitu setelah Beliau menemui jati dirinya melalui satu proses yang berat, diawali satu penyakit yang beliau derita selama 2 tahun terbaring saja dan lemah, namun demikian para dokter dan tabib tidak menemukan sesuatu penyakitpun dalam tubuh Beliau. Disaat penyakit Beliau pada puncaknya yaitu berhadapan dengan Sakratulmaut, terpancarlah kalimah Allah tertuang kedalam Latifatul Qolbi Beliau, lalu meresap ke seluruh rohani dan jasmaninya. Selanjutnya Beliau berdoa : “Ya Allah, bila mana engkau sambung umurku ini ya Allah, Aku akan merobah haluan hidupku, Aku akan membawa makhluk-Mu kembali ke jalan-Mu, bertaubat Nasuha kepada-Mu”. Kemudian didorong oleh kekuatan tersebut, tubuh yang lemah lunglai tiba-tiba bangkit duduk dan seketika itu juga Beliau sehat kembali.
Panggilan Tauhid terus menerus mendesak hati Beliau untuk mencari seorang Guru yang dapat membimbing dan menuntunnya kearah yang dicarinya. Berkat petunjuk Allah, dijumpakanlah Beliau dengan seorang Guru yang Mursyid, seorang syekh turunan yang mempunyai silsilah dari Guru ke Guru hingga sampai ke diri Rasulullah Saw, yaitu Saidi Syekh Maulana Haji Harun, ahli silsilah thariqat naqsyabandiyah yang ke-34 dari turunan Saidi Syekh Maulana H. Ibrahim Kumpulan, Bonjol, Sumatera Barat.
Sesudah mendapat guru yang zuhud, yang tak banyak orang-orang di dunia mengenalnya tetapi kerajaan langit sangat memuliakannya, maka mulailah Beliau membenamkan dirinya, mengikuti, mengarungi khalwat atau suluk yang di mulai 10 hari, kemudian 20 hari selanjutnya 40 hari selama 7 tahun tahap demi tahap. Beliau mulai bertaubat nasuha dalam usia 37 tahun pada  1964, dan pada tahun 1971 dilantik menjadi Khalifah thariqat naqsyabandiyah, langsung diizinkan menyampaikan ajaran thariqat kepada orang lain dan sekaligus memimpin suluknya, dengan tatacara dan kafiatnya, serta dalil keterangan yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist dan mengajarkannya kepada siapa yang mau dan mampu.
Saidi Syekh H. Amir Damsar Syarif Alam telah berlindung keharibaan Allah SWT pada 3 Oktober 2003 dan Makamnya terletak di kompleks Pesantren Persulukan Thariqat Naqsyabandiyah Yayasan Jabal Qubis, Tanjung Morawa, Sumatera Utara.




2.      Penerus Yayasan Jabal Qubis
Pada bulan Mei 2003 Saidi Syekh H. Amir Damsar Syarif Alam telah mengangkat anak kandung beliau yaitu Khalifah Syekh H. Ghazali An Naqsabandi menjadi Syekh Mursyid dengan menerbitkan surat keputusan resmi. Semula Khalifah Syekh H. Ghazali An Naqsabandi ditugaskan di Kabupaten Pasaman, Sumbar untuk mengembangkan ajaran thariqat naqsyabandiyah di daerah tersebut. Beberapa bulan setelah diangkat menjadi Syekh Mursyid, beliau masih bertugas di Pasaman dan barulah setelah Tuan Guru Saidi Syekh H. Amir Damsar Syarif Alam saat akan berpulang ke Rahmatullah, maka beliau ditarik ke Alkah Pusat di Tanjung Morawa.
Sebelum berlindung keharibaan Allah SWT Tuan Guru Saidi Syekh H. Amir Damsar Syarif Alam telah mempersiapkan penggantinya sebagai penerus sekaligus pewaris Yayasan Jabal Qubis. Walaupun beberapa putra beliau yang lain masih ada namun Khalifah Syekh H. Ghazali An Naqsabandi sebagai putra bungsu ternyata menurut beliau adalah yang paling layak untuk memelihara dan mengembangkan ajaran thariqat naqsyabandiyah Yayasan Jabal Qubis.
Pada tanggal 4 Oktober 2003 sehari setelah berlindungnya ayahanda beliau yang sekaligus menjadi mursyidnya, Syekh H. Ghazali An Naqsabandi dihadapan ratusan jamaah ayahandanya membacakan surat wasiat dan surat pengukuhan yang inti daripada surat wasiat dan surat pengukuhan tersebut adalah mengangkat Syekh H. Ghazali An Naqsabandi sebagai penerus dan pewaris Yayasan Jabal Qubis. Dengan demikian sejak hari itu yang berhak menjadi Koordinator seluruh Guru Mursyid yang diangkat ayahandanya dan Pimpinan seluruh jamaah ayahandanya adalah beliau sendiri. Juga pengelolaan asset Yayasan Jabal Qubis dalam arti luas adalah dibawah kendali dan pengawasan Syekh H. Ghazali An Naqsabandi.
3.       Aktifitas Yayasan Jabbal Qubis
Menurut salah satu santri yang kami wawancarai yang bernama Muhammad Maulana Ibrahim Siregar asal Sidempuan, salah satu kegiatan yang ada di Yayasan Jabbal Qubis ini adalah suluk. Para sufi disini bersuluk dengan melakukan berbagai ibadah seperti shalat, berdzikir, beramal baik, membaca Al-Qur’an dan terkadang juga membersihkan Alka Baitullah. Kegiatan yang dilakukan di yayasan ini dilakukan setiap harinya, namun ada hari tertentu juga mereka melakukan amal - amal tertentu , missal nya seperti membaca kitab kuning. Kitab kuning adalah kitab tradisional yang berisi tentang ajaran agama islam yang seperti fiqh, aqidah, akhlaq/tasawuf, tata bahasa arab ,hadits, tafsir, `ulumul qur'aan, hingga pada ilmu sosial dan kemasyarakatan (mu`amalah) .
Selain itu mereka juga memiliki sebuah kegiatan mingguan yang disebut tawajjuhyang dilaksanakan di tempat-tempat yang berdekatan dengan pemukiman jamaah. Selain itu seluruh jamaah di Medan dan sekitarnya melakukan Tawajjuh akbar bertempat di Alkah Pusat dan Alkah Perwakilan yang ditunjuk pada tanggal 15 dan 30 setiap bulannya.
Untuk bisa melakukan aktifitas di suluk ini para calon santri atau pun calon sufi haruslah membawa kain putih, tasbih, dan juga sebuah kain shalat untuk di bai’at (talqin). Bai’at (talqin) adalah untuk membersihkan, menuntun atau pun mengucapkan janji untuk mengamalkan ajaran tarekat naqsyabandiyah. Suluk dilaksanakan selama 6 hari 6 malam bertempat di Pesantren Persulukan (Alkah) Pusat Tanjung Morawa atau dapat juga di Alkah Perwakilan di daerah yang telah ditunjuk dan diberi izin oleh Guru Mursyid. Seseorang yang telah berhasil melaksanakan suluk diberi sebutan Khalifah.












































BAB III
PENUTUP

Tarekat Naqasyabandiyah Yayasan Jabbal Qubis adalah tarekat yang di pimpin oleh Syeikh H. Ghazali An Naqsabandi yang merupakan penuerus ke-36. Syeikh  H. Ghazali An Naqsabandi merupakan seorang putra dari Saidi Syekh H. Amir Damsar Syarif Alam yang juga merupakan seorang sufi sekaligus pendiri dari Tarekat Naqasyabandiyah Yayasan Jabbal Qubis. Kegiatan di Tarekat Naqasyabandiyah Yayasan Jabbal Qubis antara lain: shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir serta ibadah-ibadah lainnya. 






Lampiran: