Rabu, 29 Maret 2017

Epistemologi Tasawuf




EPISTEMOLOGI TASAWUF

OLEH:
DOLI RAMADHAN
NIM:0705163027

DOSEN PENGAMPU:
Dr.JAFAR, MA



FISIKA-1
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SUMATRA UTARA

























PENDAHULUAN

             
Ajaran Tasawuf dalam Islam memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawufbersifat sunnat. Upaya para Ulama Tasawuf memperkenalkan ajarannya lewat kitab-kitab yang telah dikarangnya sejak abad ketiga Hijriyah, dengan metode peribadatandan istilah-istilah (simbol Tasawuf) yang telah diperoleh dari pengalaman batinnya,yang memang metode dan istilah itu tidak didapatkan teksnya dalam Al- Qur’an dan Hadis. Tetapi sebenarnya ciptaan Ulama Tasawuf tentang hal tersebut, didasarkan pada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadits, dengan perkataan “Udhkuru” atau“Fadhkuru”. Dari perintah untuk berzikir inilah, Ulama Tasawuf membuat suatu metode untuk melakukannya dengan istilah “Suluk”.Dikatakan bahwa ajaran Tasawuf sebenarnya termasuk kelanjutan dari ajaranMistik umat terdahulu, kemiripannya tidak berarti bahwa Tasawuf dalam Islam adalahMistik umat terdahulu, tetapi memang banyak ajaran umat terdahulu masih dipertahankan oleh Islam.




















Epistemologi tasawuf
A.   Peran hati dalam tasawuf

Dalam tradisi intelektual islam, hati ditempatkan sebagai salah satu sarana meraih ilmu. Istilah hati berulang kali disebut dalam al-quran dan hais, yang biasanaya disebut dengan kata qalb, al-fuad, atau af’idah. Hati disebut dalam al-quran dengan berbagai bentuk, antaralain, kata qalbun, disebut sebanyak enam kali, dan qulb disebut sebanyak 21 kali. Kata al-fuat disebut sebanyak 3 kali, kata fu’aduka disebut sebnyak 2 kali, kata af’idah disebut 8 kali, dan kata afidatuhum disebut sebanyak 3 kali. Selain iotu dikenal istliah bashirah, yang berhati nurani, disebut dalam l-quran sebanyak 2 kali.

Di dalam tradisi islam hati (qalb) merupakan subsistem jiwa manusia. Ahmad mubarok telah menemukan konsep al-quran tentang fungsi, potensi, kandungan, dan kualitas hati manusia, disebutklan bahwa dari segi fungsi, menurut ahmad mubarok, qalb berfungsi sebagai ‘’ alat ntuk memahami realitas dan nilai-nilai serta memutuskan suatu tindakan’’  sehingga qalb menjadi indentik dengan akal.disebut bahwa ada delapan potensi hati yakni hati itu bisa berpaling, ,merasa kecewa dan kesal, secara sengaja memutuskan untuk melakukan sesutau, berprasangka, menolak sesuatu, mengingkari, dapat diuji, dapat ditundukkan, dapat dioperluas dan dipersempit, bahkan bisa ditutup rapat. Adapun kandungan hat manusia adalah penyakit, perasaan takut, getaran, kedamaina, keberanian, cinta dan kasih sayang, iman, kedengkian, kufur, kesesatan, penyesalan, panas hati, keraguan, kemunafikan dan kesombongan. Sedangkan kondisi hati manusia bermacam-macam, sebagian bersifat positif seperti hati yang bersing (qalsalim) , hati yang betaubat (qalbimunib), hati yang tenang (qalbi muthmain), hati yang menerima peyunjuk( yahdi qalbih), dan hati yang takwa (takwa al-qulb). Sebagian kondisi hati yang bersifat positif, seperti keras hati, hati yang berdosa ( itsm al-qolbi), hati yang tersumbat (qulubuna ghalf), hati yang ingkar (qulubihim munkarah) dan hati yang kososng( afidatihim hawa). Islam menghendaki hati manusia mampu mencapai kualitas hati yang positif, dan menjauhi kualitas hati yang negatif.

Mayritas sufi menilai bahwa akal manusia tidak mampu mencapai hakikat allah SWT, dan al-quran menjelaskan kelemahan akal bisa ditutup oleh hati yang damai. [1]



B.   Metode tazkiyah al-nafs

Jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya), maka allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kepasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. Secara harfiah (etimlogi) tazkiyah al-nafs terdiri atas dua kata tazkiyah dan an nafs. Kata tazkiyah berasal dari bahasa arab yakni isim mashdar dari kata zakka yang berarti penyucian (maaluft dalam solihin, 2003: 130). Kata al-nafs berati jiwa dalam arti fsikis. Sedangkan begitu dapat diketahui tazkiyah an nafs bermakna penyuciain jiwa. Tazkiyah an nafs (membersihkan jiwa merupakan salah satu tugas yang diemban rasulullah SAW.  Perihal tersebut dapat dilihat dalam (Q.S al jumu’ah 62 : 2). Muhammad ath-takhisi berpendapat, tazkiyah an nafs adalah mengeluarkan jiw dari ikatan-ikatan hawa nafsu, riya, dan nifah, sehingga jiwa menjadi bersih, penuh cahaya, dan petunjuk menuju keridhoan Allah. [2]

Keabsahan tazkiyah an nafs (metode irfani) diakui oelh kitab suci ummat islam. Al-quran, misalnya menegaskan bahwa nabi dan rasul diutus utuk mensucikan jiwa manusia. Tazkiyah an nafs disebut al-quran sebanyak 25 kali dalam berbagai bentuk : zakiyyah, azka, yuzakki, yatazakki, atau zaki. Istilah tersebut dapat bermakna ‘’ tumbuh karena berkah dari tuhan, halal, sifat-sifat terpuji, dan mensucikan jiwa. Adapun keutamaan tazkiyah an nafs menurut al-quran bahwa pelakunya sebagai orang-orang beruntung dan orang tersebut diberi pahala serta keabadian surgawi. Dengan demikian, metodi irfani merupakan metode yang dikembangkan dari isyarat-isyarat wahyu, metode para nabi dan rasul, dan memberikan keberuntungan dunia dan akhirat kepada penggunanyametode irfani merupakan metode kaum sufi dalam islam yang mengandalkan aktifitas penyucian jiwa (tazkiyah an nafs) untuk emndekatkan diri kepada allah SWT , dan menilai bahwa ilmu hakiki hanya diraih dengan cara mendekatkan diri kepada sosok yang maha mengetahui (al-alim), bukan dengan metode observasi dan eksperimen atau juga metode rasional.

Diantara kaum sufi terkemuka yang memiliki keyakinan tersebut adalah al-Ghazali, Ibnu arabi, Suhrawardi, dan Mulla sadra.Meskipun meyakini keunggulan metode Irpani ketimbang metode ilmiah lainnya, keempat sufi tersebut memiliki sejumlah perbedaan mengenai metode tersebut.[3]





DAFTAR PUSTAKA
Bangun,Ahmad Nasution.2013. “Akhlak tasawuf: pengenalan,pemahaman,dan pengaplikasiannya”. Jakarta: PT.Raja Grafindo Perkasa     

Ja’far.2016. “Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi”.Medan: Perdana Publishing
           



[1] Ja’far, 2016, “Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi”, Medan: Perdana Publishing, hlm 34-35
[2] Bangun,Ahmad Nasution, 2013, “Akhlak tasawuf: pengenalan,pemahaman,dan pengaplikasiannya”, Jakarta: PT.Raja Grafindo Perkasa
[3] Ja’far, op.cit, hlm 39-40

Kamis, 23 Maret 2017

Tasawuf dalam hierarki ilmu-ilmu Islam

TASAWUF DALAM HIERARKI ILMU-ILMU KEISLAMAN

OLEH:
DOLI RAMADHAN
NIM:0705163027

DOSEN PENGAMPU:
Dr.JAFAR, MA



FISIKA-1
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SUMATRA UTARA











PENDAHULUAN

             
Ajaran Tasawuf dalam Islam memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawufbersifat sunnat. Upaya para Ulama Tasawuf memperkenalkan ajarannya lewat kitab-kitab yang telah dikarangnya sejak abad ketiga Hijriyah, dengan metode peribadatandan istilah-istilah (simbol Tasawuf) yang telah diperoleh dari pengalaman batinnya,yang memang metode dan istilah itu tidak didapatkan teksnya dalam Al- Qur’an dan Hadis. Tetapi sebenarnya ciptaan Ulama Tasawuf tentang hal tersebut, didasarkan pada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadits, dengan perkataan “Udhkuru” atau“Fadhkuru”. Dari perintah untuk berzikir inilah, Ulama Tasawuf membuat suatu metode untuk melakukannya dengan istilah “Suluk”.Dikatakan bahwa ajaran Tasawuf sebenarnya termasuk kelanjutan dari ajaranMistik umat terdahulu, kemiripannya tidak berarti bahwa Tasawuf dalam Islam adalahMistik umat terdahulu, tetapi memang banyak ajaran umat terdahulu masih dipertahankan oleh Islam.


































PEMBAHASAN


Tasawuf dalam hierarki ilmu Islam

Dalam tradisi intelektual islam, para ulama telah membuat klasifikasi ilmu berdasarkan sudut pandang Islam.Diantara mereka, pendapat Ibn Khaldun cukup penting diutarakan.Dalam Muqaddimah,Ibn Khaldun membagi ilmu menjadi dua jenis.Pertama, ilmu-ilmu hikmah dan filsafat (‘ulum al hikmiyah al-falsafiyyah) yang diperoleh dengan akal manusia, dan ilmu yang diajarkan dan ditransformasikan (‘ulum al-naqliyyah al-wadhi’iyah) yang bersumber pada syariat Islam (Al-Quran dan hadis).Ibn Khaldun mengkategorikan tasawuf sebagai salah satu dari beragam ilmu-ilmu Syariah (‘ulum al-naqliyah al-wadhi’iyah). Dalam pembagian ilmu menurut al-Ghazali (w.1111) berdasarkan cara perolehan ilmu,disebutkan bahwa ilmu terdiri atas dua: ilmu yang dihadirkan (‘ilm al-hudhurt/presential) dan ilmu yang dicapai (‘ilm al-hushuli/attained),sedangkan tasawuf dikategorikan sebagai ‘ilm al-hudhurt.Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (w. 11350) membagi ilmu menjadi tiga derajat: ‘ilm jaliyun (didasari observasi,eksperimen,dan silogisme),’ilm khafiyun (ilmu makrifat), dan ‘ilm laduniyun (didasari ilham dari Allah), dan tasawuf dikelompokkan kepada ‘ilm khafiyun dan ‘ilm laduniyun.Syed Muhammad Naquib al-Attas membagi ilmu menjadi dua jenis: ilmu pemberian Allah (the God given knowledge) yang disebut ilmu-ilmu agama (the religious sciences) dan ilmu capaian (the acquired knowledge) yang disebut ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis (the rational, intellectual and philosophical sciences), sedangkan tasawuf dikategorikan  sebagai metafisika Islam yang merupakan bagian dari ilmu-ilmu agama (the religious science).Dapat ditegaskan bahwa para ulama menempatkan tasawuf sebagai bagian dari ilmu-ilmu agama, meskipun sebagian ahli menyebutkan bahwa tasawuf dalam bentuk tasawuf falsafi dipengaruhi oleh agama dan aliran filsafat tertentu.
            Ibn Khaldun telah mengulas tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu dalam kitab Muqadimahnya.Dari aspek sumber tasawuf sebagai salah satu dari ilmu syariah,menurut Ibn Khaldun, bersumber dari syariat yakni Alquran dan Hadis,dan akal tidak memiliki peran dalam ilmu-ilmu syariah kecuali menarik kesimpulan dari kaidah-kaidah utama untuk cabang-cabang permasalahannya.Meskipun muncul belakangan sebagai sebuah disiplin ilmu, tasauf sebagai bagian dari ilmu-ilmu syariat telah dipraktikkan pada zaman Nabi Muhammad SAW,sahabat,dan tabiin,dan pada masa itu tasawuf masih berupa bentuk ibadah semata.Dari aspek tujuan, pelajar sufi (al-murid) harus terus meningkatkan kualitas ibadahnya dan beranjak dari tingkatan terendah sampai tingkatan tertinggi (al-maqamat) sampai mencapai kemantapan tauhid (al-tauhid) dan makrifat (al-ma’rifah).Dari aspek pembahasan, tasawuf membicarakan empat pokok persoalan.Pertama, pembahasan tentang mujahadah (al-mujahadah),zauq (al-dzawq),intropeksi diri (muhasabah al-nafs),dan tingkatan-tingkatan spiritual (al-maqamat).Kedua,penyingkapan spiritual (al-kasyf) dan hakikat-hakikat (al-haqiqah) alam gaib (‘alam al-gayb).Ketiga, keramat wali (al-karamat).Keempat, istilah-istilah kaum sufi yang diungkap pasca ‘mabuk’ spiritual (al-syathahat).Menurut Ibn Khaldun, kebanyakan fukaha menolak ajaran kaum sufi tentang tasawuf.
            Penolakan fukaha (Sunni) tidak serta merta ditujukan kepada semua jenis tasawuf.Menurut al-Taftazani,dari abad ketiga sampai abad keempat hijriah, aliran tasawuf terbagi menjadi dua.Pertama, tasawuf sunni, yaitu aliran yang memagari pengikutnya dengan Alquran dan hadis, serta mengaitkan ajaran mereka, terutama keadaan dan tingkatan rohani mereka, dengan kedua sumber ajaran Islam tersebut.Diantara sufi yang termasuk dalam kelompok ini adalah Abu Hamid al-Ghazali (w.1111).Kedua,tasawuf falsafi, yaitu aliran yang cenderung kepada ungkapan-ungkapan ganjil (syathahat),memadukan antara visi mistis dan visi rasional dan banyak menggunakan terminologi filosofis,bahkan dipengaruhi dengan banyak ajaran filsafat.Di antara sufi yang masuk dalam kelompok ini adalah Suhrawardi al-Maqtul (w. 1191),Ibn ‘Arabi (w.1240),dan Mulla Shadra (w.1640).Para fukaha dari mazhab Sunni menolak banyak teori tasawuf yang dikembangkan oleh sufi-sufi dari mazhab tasawuf falsafi yang ternyata lebih diterima dan berkembang di dunia Syiah.[1]
            Dalam Muqqaddimah buku beliau Ibnu Khaldun telah mengulas bahawasanya tasawuf dikategorikan sebagai sebuah disiplin ilmu.
Dalam ulasan beliau, ditinjau dari segi aspek sumber,  tasawuf dikategorikan sebagai salah satu dari ilmu syariah , yakni bersumber dari syariat al-qur’an dan hadis yang tidak melibatkan akal sebagai pemikiran yang berperan dalam ilmu ini. Meskipun sekarang muncul sebagai sebuah disiplin ilmu , namun, tasawuf tetap menjadi sebuah ilmu syariat yang telah dipraktikan sejak zaman nabi muhammad saw yang pada saat itu tasawuf masih berupa bentuk ibadah semata.
Dari aspek tujuan, pelajar sufi (al-murid) harus terus meningkatkan kualitas ibadah nya guna mencapai sebuah kemantapan tauhid dan makrifat.
Dari aspek pembahasan, tasawuf membicarakan empat pokok persoalan , yaitu :
1.      Pembahasan tentang mujahadah , zauq, introspeksi diri (muhasabah al-nafs), dan tingkatan – tingkatan spiritual.
2.      Penyingkapan spiritual dan hakikat – hakikat alam ghaib
3.      Keramat wali=Bagian kewalian
4.      Istilah – istilah kaum sufi yang diungkap secara ‘mabuk’ yaitu terbuka secara gamblang.
Menurut beliau juga seperti yang diungkapkan di buku, ajaran – ajaran tasawuf banyak mendapat penolakan dari kaum sufi sendiri yakni kaum fukaha.  Namun penolakan ini juga tidak serta merta ditujukan kepada seluruh jenis ajaran tasawuf.

Kaum sufi lainnya , yaitu Al-Taftazani, kemudian mengungkapkan , ada 2 jenis pengajaran tasawuf , yaitu :
            1.      Tasawuf sunni .
             Yaitu ajaran yang memagari pengikut nya dengan al-qur’an dan hadis.
            2.      Tasawuf Falsafi
             Aliran yang cenderung kepada ungkapan – ungkapan ganjil (syathahat), memadukan antara dua visi berbeda yaitu visi mistis dan visi rasional, banyak menggunakan terminologi filosofis, dan dipengaruhi oleh banyak ajaran filsafat.

Dalam ke-Hierarki-an nya , seperti yang dikutip dari Buku Akhlak Tasawuf, ilmu tentang akhlak tasawuf ini juga berkaitan dengan disiplin ilmu lain, yakni ilmu kalam. Dapat dilihat dari segi kemiripan makna dalam ilmu pembelajarannya yang sama – sama mempelajari tentang ilmu ketauhidan ( Ilmu Ketuhanan) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. melalui pengajaran dan penerapan sifat – sifat ketuhanan seperti yang dipelajari kaum sufi kebanyakan.[2]


Klasifikasi ilmu dalam Islam

Dalam tradisi intelektual Islam, para ulama telah membuat klasifikasi ilmu berdasarkan sudut pandang Islam.



[1]  Ja’far, 2016, “Gerbang Tasawuf: dimensi teoretis dan praktis ajaran kaum sufi”,  Medan: Perdana Publishing
[2]  Bangun Ahmad Nasution, 2013,  ”Akhlak tasawuf: pengenalan,pemahaman,dan pengaplikasiannya”,      : PT.Raja Grafindo Perkasa

1.   

I     Khaldun : membagi ilmu menjadi 2 jenis yaitu, ilmu- ilmu hikmahdan filsafat yang didapatkan berasal dari pikiran manusia dan ilmu yang diajarkan danditransformasikan yang bersumber pada syariat Islam.
2.    Al-Ghazali : disebutkan bahwa ilmu terdiri atas dua yaitu, ilmu yangdihadirkan dan ilmu yang dicapai.
3.    Ibn al-Qayyim al-Jauziyah: membagi ilmu menjadi 3 derajat yaitu, ‘ilm jaliyun(berdasarkan observasi, eksperimen, dan silogisme), ‘ilm khafiyun (ilmu makrifat), dan‘ilm lauduniyun (didasari ilham dari ALLAH) dan tasawuf dikelompokkan kepada ‘ilmkhafiyun dan ‘ilm laduniyun.
4.    Syed Muhammad Naquib : membagi ilmu menjadi 2 jenis yaitu, ilmu pemberianAllah dan ilmu capaian, sedangkan ilmu tasawuf dikelompokkan sebagai metafisikaislam yang merupakan bagian dari ilmu–ilmu agama

Dari aspek pembahasan, tassawuf membicarakan empat pokok persoalan.
 Pertama, tentang mujahadah (al- mujahadah), zauq (al- dzawq), introspeksi diri ( muhassabah al-nafs) dantingkatan-tingkatan spiritual (al-maqamat).Kedua, penyingkapan spiritual ( al-kasyf) danhakikat-hakikat (al-
haqqah) alam gaib (‘alam al-gayb). Ketiga, keramat wali (al- karamat). Keempat , istilah-istilah kaum sufi yang diungkap pasca ‘mabuk’ spiritual (al-syathahat). MenurutIbn Khaldun, kebanyakan fukhaha menolak ajaran kaum sufi tentang tasawuf.[3]


Kedudukan Tasawuf
Setiap ulama meletakkan tasawuf di dalam kategori yang berbeda, seperti
 Ibn Khaldun
yang mengkategorikan tasawuf ke dalam kategori ilmu yang diajarkan dan ditransformasikan (ulum al-naqliyah al- wadhi’yah)
Al- Ghazali
 mengkategorikantasawuf ke dalam kategori ilmu yang dihadirkan (ilm al-hudhuri/presential)
 Ibn al-Qayyim al- Jauziyah
 mengkategorikan tasawuf kedalam ilmu Jaliyun ( didasariobservasi, eksperimen, dan silogisme ),
Syed Muhammad Naquib al-attas
 mengkategorikan tasawuf sebagai metafisika islam yang merupakan bagian dari ilmu-ilmu agama (the religious science ).Para ulama meletakkan tasawuf dalam bidang-bidang tersebut , maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu tasawuf merupakanbagian dari ilmu- ilmu agama.
Ajaran Akhlaq dan Tasawuf terdapat dalam sendi ajaran Ihsan, maka tasawuf itu sendiri merupakan pengamalan hamba yang melahirkan kebajikan rohani, untuk
mendapatkan ma’rifah kepada Allah SWT.
                Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islamyang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawuf bersifat sunnat. Maka Ulama Tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A’mal” (amalan-amalan yanghukumnya lebih afdal), tentu saja maksudnya amalan sunnat yang utama.[4]




[3] Ibn Khaldun, (Muqaddimah Ibn Khaldun), hlm 181-242
[4] Ja’far, op.cit hlm 23





KESIMPULAN

Para filosof mungkin membedakan ilmu kepada ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat.Kategori ilmu yang berguna mereka memasukkan ilmu-ilmu duniawi seperti fisika,kimia,geografi,logika,etika,bersama disiplin-disiplin yang khusus mengenai ilmu keagamaan.
Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya denganrukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawufbersifat sunnat. Maka Ulama Tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A’mal”(amalan-amalan yang hukumnya lebih afdal), tentu saja maksudnya amalan sunnat yang utama.







































DAFTAR PUSTAKA

Bangun Ahmad Nasution. 2013. ”Akhlak tasawuf: pengenalan,pemahaman,dan pengaplikasiannya”.     : PT.Raja Grafindo Perkasa

Ibn Khaldun.(Muqaddimah Ibn Khaldun)

Ja’far. 2016. “Gerbang Tasawuf: dimensi teoretis dan praktis ajaran kaum sufi”. Medan: Perdana Publishing