Selasa, 18 April 2017

Tobat dan Warak



TOBAT DAN WARAK

Oleh:
DOLI RAMADHAN
NIM:0705163027

Dosen Pengampu:
Dr. Ja’far, M.A




FISIKA-1
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SUMATRA UTARA







PENDAHULUAN

Al-Maqamat yaitu tingkatan kedekatan antara seorang sufi dengan Allah Swt dengan usaha menempuh jalan spriritual dengan tangga-tangga spiritual.Ada 7 tingkatan dalam perjalanan spriritual jiwa manusia menuju Allah Swt dan yang paling dasar tingkatannya adalah tobat (al-taubah) dan warak (wara’).Dalam resume ini kita membahas definisi tentang tobat dan warak sebagaimana yang kita ketahui tobat adalah hal yang paling mendasar untuk meminta ampun dari segala dosa karena kita tak akan bisa dekat dengan-Nya kalau tidak ada pembersihan hati dan pikiran didalam diri kita, dan ketika kita bertaubat maka sangat erat kaitannya dengan wara’.
Mari kita baca, pelajari, pahami, amalkan, dan sebarkan kepada seluruh umat betapa pentingnya taubat dan wara’ yang patut kita contoh dari kaum sufi dan para Nabi dan Rasul kita.





































PEMBAHASAN


Tobat (al-taubah)

Dalam bahasa Indonesia, tobat bermakna “sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan”.Maqam tobat (al-taubah) merupakan maqam pertama yang harus dilewati setiap salik dan diraih dengan menjalankan ‘ibadah, mujahadah, dan riyadhah. Hampir semua sufi sepakat bahwa tobat adalah maqam pertama yang harus diperoleh setiap salik. Istilah tobat berasal dari bahasa Arab, taba, yatubu,tobatan, yang berarti kembali, dan desebut oleh Alquran sebanyak 87 kali dalam berbagai bentuk. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi menyebutkan bahwa istilah tobat disebut Alquran berulang berulang kali dengan beragam bentuk kata, seperti taba, tabu, tubtu, tubtum, atubu, tatuba, yabtu, yatubu, yatubu, yatubun, tub, tubu, al-taubi, taubah, taubatuhum, ta’ibat, al-ta’ibun, tawwab, tawwaba, al-tawwabin, matab, dan mataba.Kata taubah disebut sebanyak 6 kali, yakni dalam Q.S. al-Nisa’/ 4: 17-18, 92; Q.S. al-Taubah/ 9: 104; Q.S. al-Syura/ 42: 25; dan Q.S. al-Tahrim/ 66: 8.Alquran menyebutkan bahwa di antara sifat Allah adalah tawwab disebut sebanyak 8 kali, dan tawwaba yang disebut 3 kali. Data ini menunjukkan bahwa konsep tobat sangat penting dalam ajaraan Islam.
Istilah tobat diartikan sebagai berbalik dan kembali kepada Allah dari dosa seseorang untuk mencari pengampunan-Nya, dan istilah ini telah dijelaskan oleh para sufi dalam karya-karya mereka. Dzun Nun al-Mishri menegaskan bahwa tobat dibagi menjadi tiga: “tobat kaum awam (al-amm) yakni tobat dari dosanya (taubah min al-zunuubi); tobat orang terpilih (al-khash) yakni tobat dari kelupaannya (al-ghaflah); dan tobat para nabi yakni tobat dari kesadaran mereka atas ketidakmampuan untuk mencapai apa yang telah dicapai orang lain. Menurut al-Qusyairi, tobat adalah awal pendakian dan maqam pertama dari sufi pemula. Menurutnya ,” tobat adalah kembali dari sesuatu yang dicela syariat menuju kepada sesuatu yang dipuji syariat. Tobat diharuskan memenuhi tiga syarat yaitu menyesali atas pelanggaran yang telah dibuat, meninggalkan jalan licin (kesesatan) pada saat melakukan tobat, dan berketetapan hati untuk tidak mengulangi pelanggaran-pelanggaran serupa. Junaid al-Baghdadi mengatakan bahwa “tobat memiliki tiga makna, yakni penyesalan, tekad meninggalkan segala larangan Allah Swt, dan berusaha memenuhi hak-hak semua orang yang pernah dizalimi.
Nashr al-Din al-Thusi, seorang sufi yang mumpuni dalam bidang filsafat dan sains, menjelaskan tentang tobat sebagai al-maqam pertama yang disepakati oleh kaum sufi. Menurutnya, syarat tobat adalah pengetahuan terhadap jenis-jenis amal yang akan membawa manfaat (pahala) dan mudarat (dosa). Menurutnya, tobat terdiri atas tiga hal: tobat yang berhubungan dengan masa lalu,tobat yang berhubungan dengan masa kini, dan tobat yang berhunbungan dengan masa depan. Dalam hubungan dengan masa lalu, ada dua syarat tobat, yakni penyesalan terhadap dosa-dosa yang dilakukan di masa lalu, dan perbuatan yang menunjukkan penyesalan tersebut baik yang berhubungan dengan Allah, dengan diri sendiri, dan dengan orang lain. Dalam hubungan dengan masa kini, ada dua syarat tobat, yakni menahan diri dari melakukan dosa sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan melindungi orang lain dari kezaliman. Dalam hubungan dengan masa depan, ada dua syarat tobat, yakni membuat suatu iktikad untuk tidak melakukan dosa di masa depan, dan bersabar dengan iktikad tersebut sebab seseorang akan sangat mudah tergoda untuk melakukan dosa.
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, ada tiga syarat tobat: penyesalan, meninggalkanm dosa yang dilakukan, dan memperlihatkan penyesalan dan ketidakberdayaan.Menurut Ibn Qudamah, tobat merupakan ungkapan penyesalan atas segala dosanya kepada Allah dan dosanya kepada manusia.
Menurut al-Ghazali, tobat adalah meninggalkan dosa, dan tidak akan mungkin akan dapat meninggalkan dosa bila tidak mengenal macam-macam dosa, sedangkan hukum mengetahui macam-macam dosa adalah wajib.Manusia tobat dibagi menjadi empat tingkat. Pertama, seorang hamba melakukan maksiat dan bertobat, serta istikamah sampai akhir hidupnya. Inilah tingkat tobat para nabi dan rasul. Kedua, seorang hamba bertobat, istikamah menjalankan ibadah dan meninggalkan dosa-dosa besar, tetapi tidak dapat terlepas dari dosa-dosa yang dilakukan tanpa sengaja dan menyesali perbuatan dosa yang dilakukan tanpa sengaja tersebut. Ketiga, seorang hamba bertobat secara terus menerus sampai akhirnya nafsu syahwat mengalahkannya sehingga ia melakukan sebagian dosa. Hamba tersebut rajin beribadah, meninggalkan sejumlah dosa, meskipun terkadang kalah dengan godaan hawa nafsu sehingga melakukan sebagian dosa. Keempat, seorang hamba bertobat, tetapi akhirnya kembali melakukan perbuatan dosa, dan ia sama sekali tidak menyesali perbuatannya tersebut.
Bagi seorang sufi, fungsi taubat bukan hanya menghapus dosa tetapi lebih dari itu adalah sebagai syarat utama agar dekat dengan Allah. Para sufi menetapkan istighfar sebagai salah satu amalan yang harus dilakukan berpuluh bahkan beratus kali dalam sehari agar ia bersih dari dosa. Mereka berinisiatif bahwa Rasulullah sendiri yang sudah bersih dari dosa masih memohon ampun dan bertaubat setiap hari, apalagi seorang manusia biasa yang tak luput darikesalahan dan dosa.

Wara’
Kata warak berasal dari bahasa Arab, wara’a, yari’u, wara’an yang bermakna berhati-hati, tetapi dalam kamus bahasa Indonesia, warak bermakna “patuh dan taat kepada Allah”. Di dunia tasawuf, kata warak ditandai dengan kehati-hatian dan kewaspadaan tinggi.Meskipun istilah ini tidak ditemukan dalam Alquran, tetapi semangat dan perintah untuk bersikap warak dapat dengan mudah ditemukan di dalamnya, dan banyak hadis Nabi Muhammad Saw menggunakan istilah warak.Dalam Sunan Ibn Majah misalnya disebutkan yang artinya:
Dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw. berkata wahai Abu Hurairah, jadilah seorang yang wara’ , maka engkau akan menjadi hambayang utama.Jadilah orang yang menerima apa adanya(qana’ah), maka engkau akan menjadi manusia yang paling bersyukur: Cintailah seseorang sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi mukmin yang sebenarnya.Perbaguslah hubungan tetangga bagi orang yang bertetangga kepadamu, maka engkau akan menjadi Muslim yang sebenarnya.Sedikitlah tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati

Al-Qusyairi menjelaskan bahwa wara’ adalah meninggalkan segala hal yang syubhat. Ibrahim bin Adam berkata wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat dan segala hal yang tidak pasti yakni meninggalkan hal-hal yang tidak berfaedah.Yahya bin Mu’az berkata wara’  terbagi menjadi dua, wara’ lahir yaitu semua gerak aktivitas hanya tertuju kepada Allah Swt, dan wara’ batin yaitu hati yang tidak dimasuki apapun kecuali hanya mengingat Allah Swt. Yunus bin ‘Ubaid mengatakan, wara’ adalah menghindarkan diri dari segala bentuk syubhat dan memelihara diri dari segala bentuk arah pandangan. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, warak adalah menjaga diri dari perbuatan dan barang haram dan syubhat. Menurutnya, ada tiga derajat warak, yakni menjauhi keburukan karena hendak menjaga diri, memperbanyak kebaikan dan menjaga iman; menjaga hukum dari segala hal yang mubah, melepaskan diri dari kehinaan, dan menjaga diri agar tidak melampaui hukum; dan menjauhi segala sesuatu yang mengajak kepada perpecahan.
Kaum sufi yang mengisi hidup dan kehidupannya dengan selalu dalam kebersihan dankesucian, indah dalam kebaikan tentu saja selalu waspada dalam berbuat. Mereka tidak maumenggunakan sesuatu yang tidak jelas statusnya, apalagi yang jelas-jelas haram. Ini dipahami dari hadist nabi yang menyatakan bahwa setiap makanan yang haram dimakan oleh manusia akan menyebabkan noda hitam pada hati yang lama-kelamaan hati menjadi keras. Hal ini sangat ditakuti para sufi yang sellau mengaharapkan nur Illahi yang dipancarkan oleh hatinya yang bersih. Sikap hidup seperti itulah yang disebut wara’.




































KESIMPULAN

Taubat adalah usaha kita meminta ampun kepada Allah agar kita terhapus dari dosa-dosa dan berjanji berusaha tidak akan melakukan dosa itu lagi.Wara’ adalah usaha kita untuk menjaga diri dari sifat buruk atau menjauh dari sifat-sifat dosa atau yang diharamkan oleh Allah serta menjauhi hal yang tidak berguna supaya kita dapat dekat dengan Allah Swt.Taubat dan Warak tidak dapat dipisahkan sebab kita bertobat akan terasa sia-sia jika selanjutnya kita melakukan hal yang membuat dosa dimana wara’ itu sendiri adalah jalan kita agar berhati-hati dalam melakukan tindakan agar tidak terjerumus dalam dosa.









































DAFTAR PUSTAKA


Irham, Iqbal. 2013. “Membangun Moral bangsa melalui Akhlak Tasawuf “.  Ciputat: Pustaka Al-Ihsan

Ja’far. 2016. “Gerbang Tasawuf: dimensi teoritis dan praktis ajaran kaum sufi”. Medan: Perdana Publishing

Siregar, A.Rivay. “Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme”

Kamis, 13 April 2017

Pondasi al-Maqamat dan al-Ahwal

PONDASI AL-MAQAMAT DAN AL-AHWAL

OLEH:
DOLI RAMADHAN
NIM:0705163027

DOSEN PENGAMPU:
Dr.Ja’far, MA




FISIKA
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SUMATRA UTARA




PENDAHULUAN

Banyak hal  yang dilakukan oleh kaum sufi untuk menyucikan dirinya dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dan tantangannya yang lebih berat adalah banyaknya larangan yang sudah dijalankan pada orang banyak di kehidupan masyarakt sehari-hari apalagi pada zaman sekarang yang kerapkali sibuk dengan kepentingan dunia dan juga hal yang menjerumuskan kita kepada kenikmatan yang hanya untuk sementara.Sebagai umat muslim sepatutnya hal yang diajarkan kaum sufi patut dipelajari dan diamalkan dan sangat bermanfaat  untuk umat muslim untuk mendapatkan ketenangan, kebahagiaan, dan ketentraman hati serta pikiran yang bersih..Pada BAB ke-VI ini kita akan membahas pondasi al-Maqamat dan al-Ahwal.
Maka daripada itu mari kita baca, kita pelajari, dan kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari dan kita sampaikan kepada seluruh umat dan semoga kita dekat kepada Allah SWT dari penerapan penyucian hati dan pikiran.

































PEMBAHASAN



KHALWAH DAN ‘UZLAH

Dalam memperoleh maqam tertentu, selain wajib menjalankan berbagai bentuk ibadah,mujahadah, dan riyadhah, seorang salik harus melakukan khalwah dan ‘uzlah dalam melaksanakan perjalanan spiritual menuju Allah SWT.Dalam Risalah al-Qusyairiyah, al-Qusyairi menjelaskan bahwa menyepi, (khalwah) adalah sifat ahli sufi, dan mengasingkan diri (‘uzlah) menjadi tanda seseorang telah bersambung dengan Allah SWT, praktik spiritual ini memberikan manfaat bagi penempuh jalan seperti menghindarkan diri dari semua sifat tercela, menghasilkan kemuliaan, mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengobati hati.Khalwah (menyepi) adalah pemutusan hubungan dengan makhluk menuju penyambungan hubungan dengan al-Haqq.Khalwah merupakan perjalanan ruhani dari nafsu menuju hati, dari hati menuju ruh, dari ruh menuju alam rahasia, dan dari alam rahasia menuju Allah SWT.Sedangkan hakikat ‘uzlah (mengasingkan diri) adalah menjaga keselamatan diri dari niat buruk orang lain.Dalam Ihya’ Ulum al-Din, al-Ghazali menjelaskan bahwa praktik mengasingkan diri memiliki banyak manfaat bagi seorang penempuh jalan spiritual.Pertama, dapat mengosongkan diri hanya beribadah kepadah Allah SWT, mengendalikan hati dengan bermunajat kepada-Nya dan menyibukkan diri dengan menyingkap rahasia-rahasia-Nya tentang masalah dunia dan akhirat.Kedua, dapat melepaskan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat yang biasa dilakukan dan dihadapi manusia selama hidup bermasyarakat seperti mengumpat, adu domba, pamer, diam dari amal ma’ruf nahi munkar, dan meniru tabiat buruk dan perbuatan keji akibat rakus terhadap kehidupan duniawi.Ketiga, membebaskan diri dari kejahatan-kejahatan manusia.Keempat, memutuskan diri dari kerakusan manusia dan kerakusan terhadap dunia.Kelima, membebaskan diri dari penyaksian atas orang-orang yang berperangai buruk dan bodoh.Keenam, menghasilkan ketaatan dalam kesendirian dan terlepas dari perbuatan tercela dan larangan Allah SWT.
Nashr al-Din al-Thusi mengungkapkan bahwa mengasingkan diri akan dapat mengarahkan salik meraih pancaran dari Allah SWT.Seluruh kaum sufi menegaskan urgensi khalwah dan ‘uzlah bagi salik memerlukan konsentrasi diri dan jauh dari gangguan publik yang dapat merusak kekhusyukan dalam mendekatkn diri kepada Allah SWT.
Dalam khalwah dan ‘uzlah, seorang salik harus menjalankan berbagai bentuk ibadah, mujahadah, dan riyadhah.Menurut al-Qusyairi, ibadah atau ‘ubudiyah adalah “melaksanakan segala apa yang diperintahkan, dan menjauhi segala hal yang dilarang”.Salah satu yang menjadi andalan seorang salik adalah zikir.Menurut ‘umar Suhrawardi, seorang salik mengamalkan berbagai bentuk wirid yang terus menerus diulang oleh semua sufi, antara lain la ilaha illallah, ya Allah, ya Hu, ya Haqq, ya Hayy, ya Qayyum, dan ya Qahhar.Selain berzikir secara terus menerus dengan lisan sampai hati, seorang salik yang sedang berkhalwat harus dalam keadaan berwuduk, berpuasa, sedikit makan, sedikit tidur, sedikit berbicara, menafikan berbagai pikiran, dan terus beramal ibadah dengan menjalankan ibadah salat (wajib dan sunnah) dan zikir.Kebanyakan sufi mengadakan Khalwah selama empat puluh hari, meskipun banyak sufi terus-menerus melakukan khalwah dalam waktu bertahun-tahun.

Ja’far, 2016, “Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi”, Medan:Perdana Publishing, hlm.52-54


MUJAHADAH

Mengenai mujahadah, teori ini antara lain didasari oleh Q.S. al-Ankabut/29: 69.Meskipun kata al-Mujahadah tidak digunakan al-Quran, tetapi kata yang seakar dengannya disebut sebanyak 44 kali, antara lain dalam bentuk jahada, jahadu, tujahiduna, yujahidu, yujahidun, jahidi, jihadin, jihadan, al-mujahidun, dan al-mujahidin.Seorang sufi bernama Abu ‘ali al-Ruzabari menjelaskan bahwa “ketahuilah bahwa dasar dan tiang mujahadah adalah menyapih nafsu dari kebiasaan-kebiasaannya dan membawanya pada penentangan hawa nafsu dalam semua waktu.Sedangkan sufi lain, Hasan al-Qazaz mengatakan bahwa “mujahadah dibangun atas tiga hal: tidak makan bila sangat butuh, tidak tidur kecuali mengantuk, dan tidak bicara kecuali terdesak.

Ibid, hlm.55


RIYADHAH

Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwanya. Suatu pembiasaan biasanya dilakukan terus-menerus secara rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih, khususnya dalam menahan diri agar jauh dari berbuat maksiat atau dosa. Riyadhah bukanlah perkara mudah, sehinggadalam pelaksanaannya diperlukan mujahadah. Dengan kata lain riyadhah dapat diartikansebagai salah satu metode sufistik dengan latihan amal-amal positif (salih) secara istiqamahdan mujahadah guna melenyapkan pengaruh negatif (maksiat) dari jiwa yang terkontaminasi dosa. Menurut Anwar dan solihin setelah riyadhah berhasil dilakukan, maka salik akan memperoleh makrifat.

Bangun ahmad, “Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi”: 2013: PT.Raja Grafindo Perkasa, Hlm. 28



Menurut Nashr al-Din al-Thusi yang merupakan seorang sufi sekaligus saintis Muslim, riyadhah adalah menahan jiwa binatang agar salik tidak mengikuti kecenderungannya terhadap nafsu dan amarah, dan menahan jiwa rasional agar tidak menuruti insting binatang serta watak dan perbuatan tercela.Riyadhah dimaknai juga sebagai pembiasaan jiwa manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengarahkannya menuju kesempurnaan yang dapat dicapainya.Tujuan Riyadhah adalah menghilangkan semua hambatan yang merintangi jalan menuju Allah terutama kesenangan lahir dan batin; menundukkan jiwa binatang kepada akal praktis yang mendorong jiwa dalam mencari kebenaran; dan membiasakan jiwa agar selalu siap untuk menerima pancaran Allah SWT, sehingga jiwa tersebut mampu memperoleh kesempurnaan yang bisa dicapainya.Para salik, tidak bisa tidak, harus mengamalkan ‘ibadah, mujahadah, dan riyadah dalam menyucikan jiwa mereka untuk dapat meraih seluruh tingkatan al-maqamat dan di anugrahi al-ahwal.
Dalam mendapatkan al-maqam dan al-ahwal tertentu, menurut al-Kalabazi, seorang sufi harus menjalankan amalan-amalan agama secara benar.Ia mengatakan bahwa ilmu-ilmu sufi adalah ilmu-ilmu tentang keadaan-keadaan (al-ahwal) yang diwariskan dari amal-amal tertentu dan hanya dialami oleh orang yang mengamalkan (agama) secara benar.Langkah menuju amal yang benar adalah mengetahui hukum-hukum syariat (al-ahkam al-syari’ah), memahami Alquran (al-kitab), sunnah (al-sunnah), ijmak salaf (ijma’ al-salaf), akidah Ahlussunnah Waljamaah, dan ilmu makrifat (‘ilm ma’rifah).Sebagai seorang sufi dari mazhab Sunni, al-Kalabazi berharap para salik mengamalkan ajaran Islam yang sesuai dengan doktrin mazhab Sunni baik dalam bidang akidah maupun syariah demi meraih tujuan tasawuf.

Ja’far, loc.cit


































KESIMPULAN

Khalwah adalah kegiatan seseorang yang sangat atau hanya bergantung dan berusaha terhubung dengan Allah SWT dan ‘uzlah adalah berpaling dari perbuatan dari orang-orang keji yang ada di sekitarnya.Mujahadah adalah usaha mengendalikan dan meminimalisir nafsunya agar terhindar dari perbuatan yang buruk dan berlebihan dari godaan dunia.Riyadhah adalah suatu usaha seseorang agar selalu ingin sangat dekat dengan Allah SWT  dengan menjauhi sifat buruk dalam hal apapun itu.







































DAFTAR PUSTAKA

Bangun ahmad.2013.  “Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya                                 disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi”. : PT.Raja Grafindo Perkasa

Ja’far. 2016. “Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi”. Medan:                            Perdana Publishing

Senin, 03 April 2017

Definisi al-Maqamat dan al-Ahwal


DEFINISI AL-MAQAMAT DAN AL-AHWAL

OLEH:
DOLI RAMADHAN
NIM:0705163027

DOSEN PENGAMPU:
Dr. JA’FAR, MA




FISIKA-1
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SUMATRA UTARA














PENDAHULUAN

           
Ajaran Tasawuf dalam Islam memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawufbersifat sunnat. Upaya para Ulama Tasawuf memperkenalkan ajarannya lewat kitab-kitab yang telah dikarangnya sejak abad ketiga Hijriyah, dengan metode peribadatandan istilah-istilah (simbol Tasawuf) yang telah diperoleh dari pengalaman batinnya,yang memang metode dan istilah itu tidak didapatkan teksnya dalam Al- Qur’an dan Hadis. Tetapi sebenarnya ciptaan Ulama Tasawuf tentang hal tersebut, didasarkan pada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadits, dengan perkataan “Udhkuru” atau“Fadhkuru”. Dari perintah untuk berzikir inilah, Ulama Tasawuf membuat suatu metode untuk melakukannya dengan istilah “Suluk”.Dikatakan bahwa ajaran Tasawuf sebenarnya termasuk kelanjutan dari ajaranMistik umat terdahulu, kemiripannya tidak berarti bahwa Tasawuf dalam Islam adalahMistik umat terdahulu, tetapi memang banyak ajaran umat terdahulu masih dipertahankan oleh Islam.



































Pengertian maqamat
Arti al-Maqamat menurut istilah sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.
Dalam bahasa inggris, maqamat dikenal dengan istilah stages yang artinya tangga.Sedangkan dalam ilmu tasawuf maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan.
Pengertian Ahwal
Secara bahasa al-Ahwal adalah sesuatu yang terjadi yang mendadak bertempat pada hati nurani dan tidak bertahan lama.
Dalam bukunya Abuddin Nata Akhlak Tasawuf.Hal atau Akhwal merupakan keadaan mental perasaan senang, perasaan takut,perasaan sedih, dan sebagainya.
Sedangkan menurut imam al-Ghazali dalam bukunya menerangkan bahwa,hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dinugrahkan Allah kepada seorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Sedangkan hal atau arti jamak adalah ahwal adalah suasana atau keadaan yang menyelimuti kalbu, yang diciptakan sebagai hak prerogatif pada Allah dalam hati setiap hambaNya.Tidak ada sufi yang mampu merubah keadaan tersebut apabila datang saatnya atau memperhatikannya apabila pergi.

 
Nata,Abuddin,(2005), “Kamus Ilmu Tasawuf”, Wonosobo: Amzah


A. Definisi
Abu al-Najib al-Suhrawardi dan al-Qusyairi memberikan penjelasan mengenai al-Maqamat dan al-Ahwal. Dalam adab al-Muridin, Abu al-Najib al-Suhrawardi, al-Maqamatadalah tingkatan spiritual seorang hamba dalam ibadah di hadapan Allah Swt. Dalam Risalahal-Qusyairiyyah, al-Qusyairi menjelaskan bahwa al- Maqamat adalah tingkatan spiritual yangakan diraih salik dengan jalan mujahadah dan mengamalkan adab-adab, perilaku, dan sikaptertentu, serta riyadhah. Menurutnya, seorang saliktidak akan dapat menaiki maqamselanjutnya sebelum berhasil menjalani dan memperoleh maqam sebelumnya. Setiap salikharus menjalan peraturan-peraturan secara konsisten untuk mendapatkan suatu maqamtertentu. Misalnya, seorang salik harus melaksanakan ritual mistis secara konsisten demi mendapatkan maqam wara’ sebelum memulai usaha untuk mendapatkan maqam al-zuhud.
Mengenai al-ahwal, para sufi telah meyebutkan beberapa keadaan hati seorang salikyang dirasakan selama melewati beragam tingkatan spiritual. Menurut al-Thusi, diantara al-ahwal adalah al-muraqabah, al-qurb, al-mahabbah, al-khauf, al-raja’, al-swawq, al-uns, al-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin. Menurut al-Quayairi, diantara yang termasuk alahwal adalah thurb, huzn, basth, qabdh, dan syawq. Menurut Abu al-Najib al-Suhrawardi,diantara yang termasuk dalam al-ahwal adalah al-muraqabah, al-qurb, al-mahabbah, al-raja’,al-khauf, al-haya’, al-syawq, al-thuma’ninah, al-yaqin, dan al-musyahadah. Sejumlah al-ahwal tersebut merupakan pemberian Allah Swt. Kepada salik yang sedang menjalani beragam ibadah untuk menakapi satu persatu maqam dari yang awal sampai yang paling akhir sebagai puncak tertinggi dari kedudukan spiritual yang mungkin dicapai seorang sufi.

B. Pondasi al-Maqamat
Menurut Nashar yang merupakan seorang sufi sekaligus saintis Muslim, riyaddhahadalah menahan jiwa binatang agar salik tidak mengikuti kecendenungannya terhadap nafsu dan amarah, dan menahan jiwa rasional agar tidak menuruti insting binatang serta watak dan perbuatan tercela. Riyadhah dimaknai juga sebagai pembiasaan jiwa manusia untukmelakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengarahkannya menuju kesempurnaan yangdapat dicapainya. Tujuan riyadhah adalah menghilangkan semua hambatan yang merintangi jalan menuju Allah terutama kesenangan lahir dan batin; menundukkan jiwa binatang kepadaakal praktis yang mendorong jiwa dalam mencari kebenaran; dan membiasakan jiwa agarselalu siap untuk menerima pancaran Allah Swt. Sehingga jiwa tersebut mampu memperolehkesempurnaan yang bisa dicapainya. Para salik tidak bisa tidak¬, harus mengamalkanibad¬ah, mujahadah, dan riyadah dalam menyucikan jiwa mereka untuk dapat meraih seluruhtingkatan al-maqamat dan dianugrahi al-ahwal.
Dalam mendapatkan al-maqam dan al ahwat tertentu, menurut al-Kalabazi, seorangsufi harus menjalankan amalan- amalan agama secara benar. la mengatakan bahwa ilmu-ilmusufi adalah ilmu-ilmu tentang keadaan-keadaan (al-a¬hwal) yang diwariskan dari amal-amaltertentu dan hanya dialami oleh orang yang mengamalkan (agama) secara benar. Langkahmenuju amal yang benar adalah mengetahui hukum-hukum syariat (al-ahkam al-syariah),memahami Al-quran (al-kitab), sunnah (al-sunnal), ijimak salaf (ijma'al-s¬alaf), akidah Ahlussunnah Waljamaah, dan ilmu makrifat (ilm ma’rifah). Sebagai seorang sufi dari mazhab
Sunni, al-Kalabazi berharap para salik mengamalkan ajaran Islam yang sesuai dengan doktrin
mazhab Sunni baik dalam bidang akidah maupun syariah demi meraih tujuan tasawuf.
C. Hierarki al-Maqamat
Dalam karya-karya tasawuf karangan sufi dari mazhab Sunni, akan dapat dilihatragam rumusan mengenai al-maqamat sebagai tingkatan yang harus diraih seorang Saliksecara mandiri dengan melakukan berbagai al-ibadah, al-mujahadah, dan al-ryadat, mulai darimaqam pertama sampai kepada maqam paling puncak. Sekadar contoh, Abi Nashr Abd Allahibn Ali al-Sarraj al- Thusi (w.988 M). Menyusun al-maqamat dari maqam pertama sampaimaqam paling puncak, yang dimulai dari tobat (al-taubah), warak (wara), zuhud (al-zuhd),kefakiran (al-faqr), sabar (al-shabr), tawakal (al-tawakkul),¬ sampai rida (al-ridha). Susunanal-maqamat menurut al-Ghazali adalah tobat (al-taubah), sabar (al-shabr), fakir (al-faqr),zuhud (al-zuhd), tawakal (al-tawakkul),¬ cinta(al-mahabbah), dan rida (al-ridha).

Tobat (al-taubah)
lstilah tobat diartikan sebagai berbalik dan kembali kepada Allah dari dosa seseoranguntuk mencari pengampunan-Nya, dan istilah ini telah dijelaskan oleh para sufi dalam karya-karya mereka. Dzun Nun al-Mishri menegaskan bahwa tobat dibagi menjadi tiga: "tobatkaum awam (al'amm) yakni tobat dari dosanya (taubah min al-zunubi; tobat orang terpilih(al- khash) yakni tobat dari kelupaannya (al-ghaflah); dan tobat para nabi yakni tobat dari
kesadaran mereka atas ketidakmampuan untuk mencapai apa yang telah dicapai orang lain”.
Menurut al-Qusyairi, tobat adalah awal pendakian dan maqam pertama bagi sufi pemula.Menurutnya, "tobat adalah kembali dari sesuatu yang dicela syariat menuju kepada sesuatuyang dipuji syariat... tobat diharuskan memenuhi tiga syarat yaitu menyesali atas pelanggaranyang telah dibuat, meninggalkan jalan licin (kesesatan) pada saat melakukan tobat,dan berketetapan hati untuk tidak mengulangi pelanggaranpelanggaran serupa. Junaid al-Baghdadi mengatakan bahwa "tobat memiliki tiga makna, yakni penyesalan, tekatmeninggalkan segala larangan Allah swt. Dan berusaha memenuhi hak-hak semua orang
yang pernah dizalimi.

Warak (wara’)
Al-Qusyairi menjelaskan bahwa “wara’ adalah meninggalkan segala hal yangsyubhat”. Ibrahim bin Adam berkata, “wara adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat dansegala hal yang tidak pasti yakni meninggalkan hal-hal yang tidak berfaedah”. Yahya binmu’az berkata, “wara’ terbagi menjadi dua, wara’ lahir yaitu semua gerak aktivitas hanya tertuju kepada Allah swt., dan wara' batin yaitu hati yang tidak dimasuki apapun kecuali
hanya mengingat Allah swt. Yunus bin Ubaid mengatakan, “wara adalah menghindarkan diridari segala bentuk syubhat dan memelihara diri dari segala bentuk arah pandangan”. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, wara’ adalah menjaga diri dari perbuatan dan barang haram dansyubhat. Menurutnya, ada tiga derajat warak, yakni menjauhi keburukan karena hendakmenjaga diri, memperbanyak kebaikan dan menjaga iman; menjaga hukum dalam segala halyang mubah, melepaskan diri dari kehinaan, dan menjaga diri agar tidak melampaui hukum dan menjauhi segala sesuatu yang mengajak kepada perpecahan.

Zuhud (al-zuhud)
Kata zuhud berasal dari bahasa Arab, zahada, yazhudu, zuhdan yang artinyamenjauhkan diri, tidak menjadi berkeinginan, dan tidak tertarik. Dalam bahasa Indonesia,zuhud berarti “perihal meninggalkan keduniawian; pertapaan.” Dalam Al-Quran, kata zuhudmemang tidak digunakan, melainkan kata al-zahidin sebanyak 1 kali yang disebut dalam Q.SYusuf/12:20. Meskipun istilah ini kurang banyak digunakan dalam Al-Quran mengenaikeutamaan akhirat ketimbang dunia.
Kefakiran (al-faqr)
Menurut al-Ghazali, fakir dapat bermakna tidak memiliki harta. Menurutnya, ada limatingkat fakir, dua diantaranya yang paling tinggi derajatnya, yakni seorang hamba yang tidaksuka diberi harta, merasa tersiksa dengan harta, dan menjaga diri dari kejahatan dankesibukan untuk mencari harta; dan seorang hamba tidak merasa senang bila mendapatkanharta, dan tidak merasa benci bila tidak mendapatkan harta.

Sabar (al-shabr)
Kata sabar berasal dari bahasa Arab, shabara, yashbiru, shabran, maknanya adalahmengikat, bersabar, menahan dari larangan hukum, dan menahan diri dari kesedihan. Kata inidisebut di dalam Al-Quran sebanyak 103 kali. Dalam bahasa Indonesia, sabar bermakna
“tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati),
dan tabah, tenang, tidak tergesa-
gesa, dan tidak terburu nafsu.

Tawakal (al-tawakkul)
Berasal dari bahasa Arab, wakila, yakilu, wakilan yang berarti “mempercayakan, memberi, membuang urusan, bersandar, dan bergantung. Istilah tawakal disebut didalam Al-Quran dalam berbagai bentuk sebanyak 70 kali. Dalam bahasa Indonesia, tawakal adalah “pasrah diri kepada kehendak Allah; percaya dengan sepenuh hati kepada Allah (dalam penderitaan dan sebagainya), atau sudah berikhtiar baru berserah kepada Allah.
Cinta (al-mahabbah)
Menurut al-Ghazali, al-mahabbah adalah al-maqam sebelum rida. Kaum sufimendasari ajaran mereka tentang cinta dengan Al-Quran, hadis, dan atsar. Diantara dalilnyaadalah Q.S. al-Maidah/5:54. Q.S. al-Shaff/61:4, Q.S. Ali Imran/3:31. Kata cinta disebut Al-Quran secara berulang kali, meskipun tidak hanya dalam makna cinta kepada Allah Swt.Sebagaimana yang dimaksudkan oleh kaum sufi. Kata hub disebut Al-Quran sebanyak 99 kali dalam berbagai bentuk kata, antara lain hubb dan yuhibbu, sedangkan dalam kata al-mahabbah tidak digunakan Al-Quran.

Rida (al-ridha)
Kata rida berasal dari kata radhiya, yardha, rihwanan yang artinya “senang, puas,memilih, persetujuan, menyenagkan, dan menerima”. Dalam kamus bahasa Indonesia, ridaadalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat”.

D. Al-Maqam Lainnya
Sebagian sufi menilai bahwa setelah mencapai maqam rida, seorang salik masih dapatmencapai maqam seperti makrifat (al- ma’rifah), dan menegaskan bahwa al -ridha bukan maqam tertinggi.Sebagian sufi lain menghadirkan ajaran lain mengenai al-maqam tertinggi. Al-Hallajmengenalkan paham al-hulul, Abu Yazid al-Bistamimemiliki ajaran tentang al-ittihad, dan Ibn ‘Arabi mengajarkan paham wahdah al -wujud yang dielaborasi lebih lanjut oleh Mulla Shadra.
E. Mengenal al-Ahwal
Sebagaimana sufi pernah menyebut beberapa contoh al-ahwa adalah al-muraqabah,al-khauf, dan al-syawq. Berbeda dalam al-maqamat yang diraih dari hasil usia salik secaramandiri dengan melakukan ibadah, mujahadah, dari riyadhah, al-ahwal tidak diraih secaramandiri, melainkan anugrah dari Allah swt. Dan keadaannya tidak kekal dalam diri seorang salik.

Al-Muraqabah
Ajaran muraqabah merupakan salah satu bentuk dari al-ahwal. Kata al-muraqabahmemang tidak digunakan Al-Quran, meskipun kata yang seakar dengannya dapat ditemukanantara lain raqiba, dan semua kata yang seakar dengan al-Muraqabah disebut sebanyak 24 kali.
Takut (al-Khauf)
  Para sufi telah membicarakan masalah takut (al-khauf) dalam karya-karya mereka.Menurut al-Qusyairi, makna takut kepada Allah Swt adalah takut kepada siksaan-Nya, baik di dunia maupun akhirat.
 Harap (al- raja’)
  Menurut al- Qusyairi, raja’ adalah “ketergantungan hati pada sesuatu yang dicintai,yang akan terjadi dimasa yang akan datang.

Rindu (al-syawq)
Para sufi telah menjelaskan makna al-syawq dalam karya-karya mereka. Al-Qusyairimisalnya, mengatakan bahwa rindu adalah keguncangan hati untuk menemui yang dicintai (Allah Swt).


Ja’far,(2016),”Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoritis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi”, Medan: Perdana Publishing, hlm 48-90











KESIMPULAN

Maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yangtelah diusahakan. Sedangkan ahwal yaitu kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seorang hamba-Nya, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.













































DAFTAR PUSTAKA

Ja’far.(2016).”Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoritis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi”. Medan: Perdana Publishing

Nata Abuddin.(2005).  “Kamus Ilmu Tasawuf” .Wonosobo: Amzah