Senin, 12 Juni 2017

Tokoh dan Pusat Tarekat di Sumatra Utara

TOKOH DAN PUSAT TAREKAT SUMATERA UTARA


KUNJUNGAN KE TAREKAT NAQSYABANDIYAH
YAYASAN JABAL QUBIS
TANJUNG MORAWA
Jalan  Medan – Lubuk Pakam, km. 18,5
Desa Dagang Kelambir, Dusun II Gang Wakaf
Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang
Provinsi Sumatera Utara
INDONESIA


Disusun oleh :
DOLI RAMADHAN
NIM : 0705163027

Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Dr. Ja’far, M.A
Program Studi : Fisika-1
Semester : II

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN SUMATERA UTARA
2017










BAB I

PENDAHULUAN


Tarekat (Bahasa Arab: طرق, transliterasi: Tariqah) berarti "jalan" atau "metode", dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme dalam Islam. Ia secara konseptual terkait dengan ḥaqīqah atau "kebenaran sejati", yaitu cita-cita ideal yang ingin dicapai oleh para pelaku aliran tersebut. Seorang penuntut ilmu agama akan memulai pendekatannya dengan mempelajari hukum Islam, yaitu praktik eksoteris atau duniawi Islam, dan kemudian berlanjut pada jalan pendekatan mistis keagamaan yang berbentukṭarīqah. Melalui praktik spiritual dan bimbingan seorang pemimpin tarekat, calon penghayat tarekat akan berupaya untuk mencapai ḥaqīqah (hakikat, atau kebenaran hakiki).
Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang memiliki cukup banyak pengikut di indonesia. Naqsyabandiyah sendiri berasal dari kata ’Naqsyaband’ yang merupakan gelar pendirinya, Syah Naqsyaband. Sementara tambahan –yah, merupakan ya nisbah, yang berarti pengikut. Sehingga makna Naqsyabandiyah berarti pengikut Syah Naqsyaband.




















BAB II
PEMBAHASAN


1.      Sejarah Singkat Pendiri Yayasan Jabbal Qubis
Yayasan Jabal Qubis didirikan oleh Saidi Syekh H. Amir Damsar Syarif Alam berdasarkan Akte Notaris Muchtar SH No. 1 tanggal 13 Oktober 1999 di Tanjung Morawa, Kab.Deli Serdang, Sumatera Utara, bertujuan untuk melaksanakan pembinaan rohani, mental spritual masyarakat dari semua kalangan.
Saidi Syekh H. Amir Damsar Syarif Alam, adalah Guru Besar Thariqat Naqsyabandiyah Silsilah ke-35 turunan Koto Tuo, Kumpulan, Bonjol, Sumatera Barat. Beliau dilahirkan tanggal 25 Nopember 1927 di Losung Batu, Padang Sidempuan Kabupaten Tapanuli Selatan, dan merupakan putra Raja Mananti bin Mangaraja Enda bin Patuan Na Sati yang memerintah di Kerajaan Losung Batu Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan sebelum kolonialis Belanda menginjakkan kakinya di Persada Tanah Air. Ibundanya juga adalah seorang Putri Raja.
Padang Sidempuan sebagai ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, dulunya adalah wilayah Kerajaan Losung Batu, yang memegang tampuk pemerintahan atau Kerajaan berfalsafahkan “DALIHAN NATOLU” yang secara ringkas artinya adalah “dari merekalah Rajanya (Umarohnya) dari kalangan merekalah ulamanya, dari kalangan mereka pulalah Panglimanya”.
Melihat dari darah keturunannya, almarhum Saidi Syekh H. Amir Damsar Syarif Alam tentu memiliki tetesan darah umarohnya dan tetesan darah panglimanya. Beliau pernah bekerja di bagian Administrasi/tata usaha di berbagai perusahaan dan pernah menjadi anggota Polisi Militer dari tahun 1945 s/d 1950. Namun tetesan darah Ulamanya lebih berpengaruh, yaitu setelah Beliau menemui jati dirinya melalui satu proses yang berat, diawali satu penyakit yang beliau derita selama 2 tahun terbaring saja dan lemah, namun demikian para dokter dan tabib tidak menemukan sesuatu penyakitpun dalam tubuh Beliau. Disaat penyakit Beliau pada puncaknya yaitu berhadapan dengan Sakratulmaut, terpancarlah kalimah Allah tertuang kedalam Latifatul Qolbi Beliau, lalu meresap ke seluruh rohani dan jasmaninya. Selanjutnya Beliau berdoa : “Ya Allah, bila mana engkau sambung umurku ini ya Allah, Aku akan merobah haluan hidupku, Aku akan membawa makhluk-Mu kembali ke jalan-Mu, bertaubat Nasuha kepada-Mu”. Kemudian didorong oleh kekuatan tersebut, tubuh yang lemah lunglai tiba-tiba bangkit duduk dan seketika itu juga Beliau sehat kembali.
Panggilan Tauhid terus menerus mendesak hati Beliau untuk mencari seorang Guru yang dapat membimbing dan menuntunnya kearah yang dicarinya. Berkat petunjuk Allah, dijumpakanlah Beliau dengan seorang Guru yang Mursyid, seorang syekh turunan yang mempunyai silsilah dari Guru ke Guru hingga sampai ke diri Rasulullah Saw, yaitu Saidi Syekh Maulana Haji Harun, ahli silsilah thariqat naqsyabandiyah yang ke-34 dari turunan Saidi Syekh Maulana H. Ibrahim Kumpulan, Bonjol, Sumatera Barat.
Sesudah mendapat guru yang zuhud, yang tak banyak orang-orang di dunia mengenalnya tetapi kerajaan langit sangat memuliakannya, maka mulailah Beliau membenamkan dirinya, mengikuti, mengarungi khalwat atau suluk yang di mulai 10 hari, kemudian 20 hari selanjutnya 40 hari selama 7 tahun tahap demi tahap. Beliau mulai bertaubat nasuha dalam usia 37 tahun pada  1964, dan pada tahun 1971 dilantik menjadi Khalifah thariqat naqsyabandiyah, langsung diizinkan menyampaikan ajaran thariqat kepada orang lain dan sekaligus memimpin suluknya, dengan tatacara dan kafiatnya, serta dalil keterangan yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist dan mengajarkannya kepada siapa yang mau dan mampu.
Saidi Syekh H. Amir Damsar Syarif Alam telah berlindung keharibaan Allah SWT pada 3 Oktober 2003 dan Makamnya terletak di kompleks Pesantren Persulukan Thariqat Naqsyabandiyah Yayasan Jabal Qubis, Tanjung Morawa, Sumatera Utara.




2.      Penerus Yayasan Jabal Qubis
Pada bulan Mei 2003 Saidi Syekh H. Amir Damsar Syarif Alam telah mengangkat anak kandung beliau yaitu Khalifah Syekh H. Ghazali An Naqsabandi menjadi Syekh Mursyid dengan menerbitkan surat keputusan resmi. Semula Khalifah Syekh H. Ghazali An Naqsabandi ditugaskan di Kabupaten Pasaman, Sumbar untuk mengembangkan ajaran thariqat naqsyabandiyah di daerah tersebut. Beberapa bulan setelah diangkat menjadi Syekh Mursyid, beliau masih bertugas di Pasaman dan barulah setelah Tuan Guru Saidi Syekh H. Amir Damsar Syarif Alam saat akan berpulang ke Rahmatullah, maka beliau ditarik ke Alkah Pusat di Tanjung Morawa.
Sebelum berlindung keharibaan Allah SWT Tuan Guru Saidi Syekh H. Amir Damsar Syarif Alam telah mempersiapkan penggantinya sebagai penerus sekaligus pewaris Yayasan Jabal Qubis. Walaupun beberapa putra beliau yang lain masih ada namun Khalifah Syekh H. Ghazali An Naqsabandi sebagai putra bungsu ternyata menurut beliau adalah yang paling layak untuk memelihara dan mengembangkan ajaran thariqat naqsyabandiyah Yayasan Jabal Qubis.
Pada tanggal 4 Oktober 2003 sehari setelah berlindungnya ayahanda beliau yang sekaligus menjadi mursyidnya, Syekh H. Ghazali An Naqsabandi dihadapan ratusan jamaah ayahandanya membacakan surat wasiat dan surat pengukuhan yang inti daripada surat wasiat dan surat pengukuhan tersebut adalah mengangkat Syekh H. Ghazali An Naqsabandi sebagai penerus dan pewaris Yayasan Jabal Qubis. Dengan demikian sejak hari itu yang berhak menjadi Koordinator seluruh Guru Mursyid yang diangkat ayahandanya dan Pimpinan seluruh jamaah ayahandanya adalah beliau sendiri. Juga pengelolaan asset Yayasan Jabal Qubis dalam arti luas adalah dibawah kendali dan pengawasan Syekh H. Ghazali An Naqsabandi.
3.       Aktifitas Yayasan Jabbal Qubis
Menurut salah satu santri yang kami wawancarai yang bernama Muhammad Maulana Ibrahim Siregar asal Sidempuan, salah satu kegiatan yang ada di Yayasan Jabbal Qubis ini adalah suluk. Para sufi disini bersuluk dengan melakukan berbagai ibadah seperti shalat, berdzikir, beramal baik, membaca Al-Qur’an dan terkadang juga membersihkan Alka Baitullah. Kegiatan yang dilakukan di yayasan ini dilakukan setiap harinya, namun ada hari tertentu juga mereka melakukan amal - amal tertentu , missal nya seperti membaca kitab kuning. Kitab kuning adalah kitab tradisional yang berisi tentang ajaran agama islam yang seperti fiqh, aqidah, akhlaq/tasawuf, tata bahasa arab ,hadits, tafsir, `ulumul qur'aan, hingga pada ilmu sosial dan kemasyarakatan (mu`amalah) .
Selain itu mereka juga memiliki sebuah kegiatan mingguan yang disebut tawajjuhyang dilaksanakan di tempat-tempat yang berdekatan dengan pemukiman jamaah. Selain itu seluruh jamaah di Medan dan sekitarnya melakukan Tawajjuh akbar bertempat di Alkah Pusat dan Alkah Perwakilan yang ditunjuk pada tanggal 15 dan 30 setiap bulannya.
Untuk bisa melakukan aktifitas di suluk ini para calon santri atau pun calon sufi haruslah membawa kain putih, tasbih, dan juga sebuah kain shalat untuk di bai’at (talqin). Bai’at (talqin) adalah untuk membersihkan, menuntun atau pun mengucapkan janji untuk mengamalkan ajaran tarekat naqsyabandiyah. Suluk dilaksanakan selama 6 hari 6 malam bertempat di Pesantren Persulukan (Alkah) Pusat Tanjung Morawa atau dapat juga di Alkah Perwakilan di daerah yang telah ditunjuk dan diberi izin oleh Guru Mursyid. Seseorang yang telah berhasil melaksanakan suluk diberi sebutan Khalifah.












































BAB III
PENUTUP

Tarekat Naqasyabandiyah Yayasan Jabbal Qubis adalah tarekat yang di pimpin oleh Syeikh H. Ghazali An Naqsabandi yang merupakan penuerus ke-36. Syeikh  H. Ghazali An Naqsabandi merupakan seorang putra dari Saidi Syekh H. Amir Damsar Syarif Alam yang juga merupakan seorang sufi sekaligus pendiri dari Tarekat Naqasyabandiyah Yayasan Jabbal Qubis. Kegiatan di Tarekat Naqasyabandiyah Yayasan Jabbal Qubis antara lain: shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir serta ibadah-ibadah lainnya. 






Lampiran:










































Laporan Hasil Kunjungan Perpustakaan UIN Sumatra Utara




LAPORAN KUNJUNGAN PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATRA UTARA


DISUSUN OLEH:
DOLI RAMADHAN
NIM : 0705163027




Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Dr. Ja’far, M.A
Program Studi : Fisika 1
Semester : II



Fakultas Sains Dan Teknologi
UIN SUMATERA UTARA
2017










Menginventarisir Referensi Akhlak Tasawuf

  1. Aktualisasi Ajaran Tarekat Syekh Abdul Wahab Rokan Al-Naqsyabandi. Siregar, Hidayat. 2009: Citapustaka Media Perintis
  2. Aliran/Faham Keagamaan Dan Sufisme Perkotaan. Nuh, Nuhrison M. 2009:Puslitbang Kehidupan Keagaman
  3. Antara Sufisme Dan Syari’ah . Anshari, Muhammad Abdul Haq. 1993: PT.RajaGrafindo Persada
  4. Bisnis Kaum Sufi. Radjasa Mu’Tasim & Abdul Munir Mulkhan. 1998: Pustaka Pelajar
  5. Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi. Hasyim Muhammad. 2002: Pustaka Pelajar
  6. Dunia Spritual Kaum Sufi. Netton, Ian Richard. 2001: PT RajaGrafindo Persada
  7. Hakikat Tarikat Naqsyabandiah. Said, Fuad H.A. 1996: PT. Al-Husna Zikra
  8. Ilmu Dalam Persepektif Tasawuf Al-Ghazali . Al-Baqir, Muhammad. 1996: Penerbit Karisma
  9. Jalan Sufi .Shah, Idries. 1968: PT.Dunia Pustaka Jaya
  10. Kunci Memasuki Dunia Tasawuf .Armstrong, Amatullah. 1996 : Penebit Mizan
  11. Mengenal Allah Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf. Samad, Abdus. 1985: Bulan Bintang
  12. Mengenal Dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia . Mulyati,Sri. 2004: Prenada Media
  13. Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Solihin, M. 2005: PT.RajaGrafindo Persada
  14. Menyelami Lubuk Tasawuf. Kartanegara, Mulyadhi. 2006: Erlangga
  15. Pemikiran Sufisme Di Bawah Bayang-Bayang Fatamorgana. Abdurrahman Abdul Khaliq & Ihsan Ilahi Zhahir. 2000: Penerbit Hmzah
  16. Pengantar Ilmu Tasawuf. Zakiah Daradjat, Dkk. 1982: Institut Agama Islam Negeri
  17. Sufi Perkotaan (Menguak Feomena Spiritualitas Di Tengah Kehidupan Modern) Muh. Adlin Sila, Dkk. 2007: Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama
  18. Sufisme Dan Penyempurnaan Diri. Arasteh, A.Reza. 2002. PT. Raja Grafindo Persada
  19. Syiah Dan Tarekat Sufi (Terjemahan). Akaha, Abduh Zulfidar. 2013: Pustaka Al-Kautsar
  20. Tangklukan, Abangan, Dan Tarekat. Mufid, Ahmad Syafi’i. 2006: Yayasan Obor Indonesia
  21. Tarekat Doktrin Dan Sejarah. Siregar, Hidayat. 2008: Citapustaka Media Perintis
  22. Tarekat Naqsyabandiyah DI Indonesia. Bruinessen, Martin Van. 1992: Penerbit Mizan
  23. Tarekat Syattariyah Di Minangkabau. Fathurahman, Orman . 2003: Praneda Media
  24. Tariqat Sanusiyyah (Penggerak Pembaharuan Islam). Ziadeh, Nicola A. 2001: PT Raja Grafindo Persada
  25. Tasawuf Dalam Al-Qur’an. Din, Mir Valiu. 1987: Pustaka Firdaus
  26. Tasawuf Dulu Dan Sekarang. Nasr, Sayyid Husein. 1994: Pustaka Firdaus
  27. Tasawuf Irfani (Tutup Nasut Buka Lahut). Tamrin, Dahlan. 2010: UIN – MALIKI PRESS (Anggota IKAPI)
  28. Tasawuf Mendamaikan Dunia. Muhayyadin, Bawa. 1997: Pustaka Hidayah
  29. Tasawuf Menguak Cinta Ilahiah. Budiman, A. Nashir. 1993 :PT. Raja Grafindo Persada
  30. Tasawuf Modren.Hamka. 1990: Pustaka Panjimas
  31. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Siroj, Said Aqil. 2006: Yayasan KHAS
  32. Tasawuf Untuk Kita Semua. Gulen, Muhammad Fethullah 2013 . Republika Penerbit
Jumlah Buku   : 32 Buku
Perpustakaan   : UINSU

Resensi 1: Tasawuf sebagai Kritik Sosial oleh : Dr. K.H. Said Aqil Siroj2.
Resensi 2: Tasawuf untuk kita semua : Muhammad Fetullah Gulen


Resensi judul 1
Judul buku : Tasawuf sebagai Kritik Sosial
Penulis : Dr. K.H. Said Aqil Siroj
Penerbit : Yayasan KHAS
Tahun terbit: 2006

Sinopsis
Di Indonesia, organisasi-organisasi kemasyrakatan Islam semacam NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di Tanah air, menjadikan prinsip tawassuth, tawazun, I’tidal, dan tasamuh ini sebagai landasan etiksosialnya. Dengan demikian, persoalan-persoalan apapun yang dihadapi, baik agama maupun sosial politik, selalu didasarkan pada landasan etis “jalan tengah” atau “moderasi”ini.Tentu pada masa sekarang, banyak anak muda yang gandrung mengkritik paraulama dan mengbaikan tradisi. Namun, harap dicamkan bahwa sumbangan dan jasamereka janganlah diabaikan. Itulah yang harus kita hargai. Dan, kita bisa mengambil pelajaran dari Spanyol.Ketika Islam membangun peradaban di wilayah yang dulu dikenal denganAndalusia, sejarah menorehkan tinta emas tentang pencapaian yang diraih para ulamadan cendekiawan dari berbagai kalangan penganut agama. Namun, spanyol menghapussemua jejak peradaban itu dan meruntuhkannya. Warisan para ulama di bumi hanguskan dan umat Islam pun diusir dari sana. Dan yang tersisa kemudian adalah ketertinggalanSpanyol dibandingkan Negara-negara Eropa modern lainnya.Jadi, perdaban dan kebudayaan, tsaqafah  dan hadlarah, akan terbangun darimanusia-manusia yang aktif dan produktif. Dan di situlah hikmah manusia diciptakan.Dia akan belajar, mencari, serta memetik pelajaran dan kebenaran dari manapunasalnya. Ini ibarat orang yang sedang menyetir mobil. Supaya berjalan lancer danmulus, seimbang dan stabil, dia harus melihat kanan dan kiri, depan dan belakang.Kalau tidak demikian misalnya melihat ke belakang saja, tanpa menoleh ke yang lain,tenti ia akan menggangu para pengguna jalan lainnya yang berada di depannya. Danyang rusak kemudian adalah keseimbangan dan situasi harmonis dijalanan.
.

Resensi judul 2
       Judul Buku      :  Tasawuf Untuk Kita Semua
Pengarang       :  Muhammad Fethullah Gulen
Penerbit           :  Republika
Tahun Terbit    :  2013


 Sinopsis
            Bagi manusia, kalbu bukan saja istimewa tapi juga penting. Istimewa karena interaksi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan manusia terjadi didalam kalbu. Penting karena kebaikan seluruh anggota badan manusia bergantung pada baik tidaknya kalbu. Karenanya, setiap diri kita berkewajiban menjaga kalbu agar tetap dalam fitrahnya. Salah satu jalan yang bisa kita tempuh untuk memelihara sekaligus meningkatkan kemampuan kalbu adalah tasawuf.
            Dibuku ini jalan tasawuf dijelaskan penulisnya melalui istilah-istilah yang berlaku dalam praktik sehari-hari para pelaku tasawuf, seperti : Taubah, muhasabah, tafakur, khalwat, khauf, wara’, taslim, dan yang lainnya. Penjelasannya didasarkan pada pengalaman penulisnya dan pengalaman orang-orang mulia yang menempuh jalan yang sama dari kalangan sufi-sufi besar yang tetap berpegang teguh pada kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Dengan pendekatan ini, pembaca bisa menemukan potret hakiki dari tasawuf seperti apa adanya. Dan, dengan cara ini pula siapapun diri kita bisa memahami tasawuf dengan sangat mudah.
            Setiap kita memiliki kalbu. Setiap kita mempunyai kesempatan untuk memelihara dan meningkatkan kemampuan kalbunya. Dan, setiap kita diberi kemampuan untuk mengupayakannya. Pertanyaan besarnya adalah mau atau tidak kita menjalankannya. Dan buku ini bisa menjadi bekal awal bagi kita menapaki bukit-bukit zamrud kalbu.

Sabtu, 10 Juni 2017

Integrasi Tasawuf dan Sains

INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS

OLEH:
DOLI RAMADHAN
NIM:0705163027

DOSEN PENGAMPU:
Dr. JA’FAR, M.A




FISIKA-1
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SUMATRA UTARA














PENDAHULUAN

Dalam sejarah Islam, banyak kaum sufi yang memiliki ilmu pengetahuan yang sangat tinggi karena merupakan mukjizat yang diberikan Allah kepada kekasih-Nya yang senantiasa berzikir dan mengingat-Nya. Bahkan ilmu yang dikuasai para sufi tidak hanya di bidang keislaman saja, namun ilmu pengetahuan sains dan filsafat dapat mereka kuasai juga. Melalui pembahasan ini kita akan mengetahui bermanfaatnya  metode ‘irfani yang berpengaruh kepada metode tajribi (kajian-kajian ilmu-ilmu alam yang mengandalkan metode observasi dan eksperimen) untuk pembelajaran ilmu dunia sekalipun.






































PEMBAHASAN


Integrasi dalam sejarah Islam
Dalam sejarah intelektual Islam klasik, budaya integrasi keilmuan telah dikenal dan dikembangkan dengan canggih. Center for Islamic Philosophical Studies and Information (CIPSI) pernah menyebut 261 ilmuwan, teolog, dan saintis Muslim yang menguasai banyak bidang, baik ilmu-ilmu kewahyuan maupun ilmu-ilmu rasional dan empirik. Dalam sejarah Islam, ditemukan seorang ahli astronomi, ahli biologi, ahli matematika, dan ahli arsitektur yang mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu keislaman seperti tauhid, fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf. Meskipun berprofesi sebagai saintis dalam bidang ilmu-ilmu kealaman, para pemikir Muslim klasik menempuh pola hidup sufistik, dan kajian-kajian ilmiah mereka diarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuan religius dan spiritual.
Para filsuf dari mazhab Peripatetik merupakan pemikir Muslim yang berhasil mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran Islam yang bersumberkan kepada Alquran dan hadis, lantaran tema-tema filsafat Yunani diislamisasikan dan disesuaikan dengan paradigma Islam. Tidak sebatas integrasi belaka, mereka malah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu yang terdiri atas ilmu-ilmu rasional dan ilmu-ilmu kewahyuan, sehingga integrasi menjadi sangat mudah dilakukan. Al-Jahiz (w.869) adalah ahli dalam bidang sastra Arab, biologi, zoologi, sejarah, filsafat, psikologi, teologi, dan politik. Al-Kindi(w.873 M) menguasai seluruh cabang filsafat seperti metafisika, etika, logika, psikologi, kedokteran, farmakologi, matematika, astrologi, optik, zoologi, dan meteorologi. Al-Razi (w.925) adalah ahli dalam bidang filsafat, kimia, matematika, sastra, dan kedokteran. Al-Farabi (w.950) menguasai berbagai cabang filsafat, antara lain metafisika, etika, logika, matematika, musik, dan politik. Ibn Bajjah (w.1138) adalah tokoh yang dikenal sebagai seorang astronom, filsuf, musisi, dokter, fisikawan, psikolog, dan botanis. Ibn Thufail (w.1185) juga seorang ahli filsafat, kedokteran, dan hukum Islam. Al-Ghazali (w.1111) adalah seorang teolog, filsuf, dan sufi. ‘Umar Khayyam (w.1131) adalah matematikawan, astronom, dan sufi. Ikhwan al-Shafa’ (abad 10 masehi) adalah kelompok filsuf yang menguasai filsafat, psikologi, biologi, dan fisika. Ibn al-Haitsman (w.1039) merupakan tokoh dalam bidang falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Al-Biruni (w.1084) merupakan matematikawan, astronom, fisikawan, filsuf, sejarawan, ahli farmasi, dan dokter. Ibn Rusyd (w.1198) adalah pakar kedokteran, hukum Islam, matematika, dan filsafat. Ibn Sina (w.1037) menguasai filsafat, kedokteran, astronomi, kimia, geografi, geologi, psikologi, logika, matematika, fisika, dan puisi. Fakhr al-Dhin al-Razi (w.1209) dikenal sebagai ahli filsafat, tasawuf, kedokteran, tafsir, dan fikih. Di antara prestasi besar mereka sebagai ilmuwan Muslim adalah kemampuan mereka menguasai dan mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional, ilmu-ilmu empirik, dan ilmu-ilmu kewahyuan. Kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu religius adalah dampak dari keyakinan bahwa ilmu-ilmu religius merupakan ilmu-ilmu fardh al-‘ain yang wajib dikuasai dan diamalkan setiap muslim apapun profesi mereka. Kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu rasional dan empirik adalah bahwa semua ilmu tersebut dikategorikan sebagai ilmu fard al-kifayah yang diwajibkan kepada sebagian Muslim; atau kemungkinan tidak lebih dari sekedar profesi dan minat mereka untuk menguasai dan mengembangkannya atas dasar perintah agama.
Selain dari mazhab Peripatetik, sejarah Islam menyebutkan keberadaan para filsuf dari mazhab Isyraqiyah dan mazhab Hikmah al-Muta’aliyah yang sukses mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional dengan ilmu-ilmu kewahyuan. Di antara mereka adalah Suhrawardi (w.1191) yang dikenal ahli filsafat, tasawuf, Zoroastrianisme, dan Platonisme. Nashr al-Din al-Thusi (w.1274) merupakan pakar dalam bidang astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, fisika, teologi, tasawuf, dan hukum Islam. Quthb al-Din al-Syirazi (w.1311) cukup dikenal sebagai ahli dalam bidang astronomi, matematika, kedokteran, fisika, musik, filsafat, dan tasawuf. Mulla Shadra (w.1640) adalah seorang pakar teologi, hukum Islam, tafsir dan hadis, selain menguasai filsafat dan tasawuf. Baha’ al-Din Amili (w.1621) merupakan seorang fakih, ahli hadis, filsuf, matematikawan, dan arsitek. Banyak ilmuwan Muslim terdahulu yang kehidupan mereka sangan religius dan sufistik, tetapi mereka menguasai filsafat dengan segala cabangnya seperti metafisika, matematika, fisika, astronomi, biologi, kedokteran, dan teknologi arsitektur. 
Meskipun mereka seorang filsuf dan saintis, perilaku hidup mereka merupakan realisasi terhadap teori mereka mengenai filsafat dan sufisme. Dapat disimpulkan bahwa mereka sukses mengintegrasikan antara dua jenis ilmu tersebut, dan mengintegrasikan keduanya dengan keyakinan dan perilaku hidup mereka sehari-hari.

Integrasi dalam Ranah Ontologi
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, ont yang bermakna keberadaan, dan logos yang bermakna teori, sedangkan dalam bahasa Latin disebut ontologia, sehingga ontologi bermakna teori keberadaan sebagaimana keberadaan tersebut. Ontologi dapat dimaknai sebagai ilmu tentang esensi segala sesuatu. Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang merupakan bagian dari filsafat; dan membahas teori tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan karakteristik  esensial keberadaan. Suriasumantri menyimpulkan bahwa ontologi sebagai bagian dari kajian filsafat ilmu membahas tentang hakikat dari objek telaah ilmu dan hubungan objek ilmu dengan manusia sebagai pencari ilmu. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu tentang teori keberadaan, dan istilah ontologi ditujukan kepada pembahasan tentang objek kajian ilmu.
Dilihat dari karya-karya Ibn ‘Arabi, Suhrawardi, dan Mulla Shadra. Dapat dilihat titik singgung antara tasawuf (falsafi) dengan sains, sebab tasawuf bukan hanya membahas tentang bagaimana mendekatkan diri kepada Allah Swt. atau hakikat wujud-Nya, tetapi juga memberikan perspektif tasawuf mengenai hakikat alam dan manusia, sebagaimana sains juga hendak mengkaji dan menelaah fenomena-fenomena alam, terutama berbagai persoalan tentang mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia. 
Berbeda dari saintis Barat sekuler, para filsuf Muslim dan sufi berpendapat bahwa ada hubungan erat antara alam dengan Allah Swt. Menurut Ibn ‘Arabi (w.1240), alam diciptakan Allah Swt. melalui proses tajalli (penampakan diri)-Nya pada alam empiris yang majemuk. Tajalli Allah Swt. mengambil dua bentuk: tajalli dzati dalam bentuk penciptaan potensi; dan tajalli syuhudi dalam bentuk penampakan diri dalam citra alam semesta. Alam merupakan bayangan dari wujud Allah Swt., penampakan dari nama dan sifat-Nya, sedangkan manusia yang telah mencapai kedudukan insan al-kamil merupakan wadah tajalli-Nya, selain berkedudukan sebagai khalifah-Nya dan wali tertinggi (quthb). Teori Ibn ‘Arabi tentang alam didasari oleh doktrinnya tentang kesatuan wujud (wahdat al-wujud) dan tajalli. Ibn Sina dari mazhab Masysya’iyah, Suhrawardi yang mendirikan mazhab Isyraqi, dan Mulla Shadra dari mazhab Hikmah al-Muta’aliyah memberikan penjelasan bahwa alam  material tidak mandiri, melainkan disebabkan oleh wujud Allah Swt, dan selalu berada dalam pengawasan dan pengaturan-Nya. Ibn Sina, Suhrawardi dan Mulla Shadra menegaskan bahwa seluruh elemen dunia material (mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia) adalah akibat dari dunia spiritual memilliki jiwa (al-nafs) masing-masing. Dari perspektif Ibn ‘Arabi, alam merupakan manifestasi sifat-sifat Allah Swt. dan cermin bagi-Nya. Saintis Muslim sebagai peneliti alam empirik (terutama dunia mineral, tumbuhan, binatang, dan manusia) harus menyadari bahwa alam merupakan ciptaan dan manifestasi Allah Swt; dan ajaran Islam mengajarkan bahwa alam merupakan tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan-Nya, sehingga penelitian terhadap alam diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh keimanan terhadap-Nya, bukan menjauhkan manusia dari-Nya sebagaimana ditemukan dalam banyak teori ilmuwan-ilmuwan Barat-sekular.

Integrasi dalam ranah Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang bermakna pengetahuan, dan logos yang bermakna ilmu atau eksplanasi, sehingga epistemologi berarti teori pengetahuan. Epistemologi dimaknai sebagai cabang filsafat yang membahas pengetahuan dan pembenaran, dan kajian pokok epistemologi adalah makna pengetahuan, kemungkinan manusia meraih pengetahuan, dan hal-hal yang dapat diketahui. Runes menjelaskan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang menelusuri asal (sumber), struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Suria sumantri menyimpulkan bahwa epistemologi sebagai bagian dari kajian filsafat ilmu membahas tentang proses dan prosedur menggali ilmu, ,metode untuk meraih ilmu yang benar, makna dan kriteria kebenaran, serta sarana yang digunakan untuk mendapatkan ilmu. Dengan demikian, epistemologi adalah ilmu tentang tata cara mendapatkan ilmu.
Kajian-kajian ilmu-ilmu alam mengandalkan metode observasi dan eksperimen yang disebut dalam epistemologi Islam sebagai metode tafribi, sedngkn kajin tasawuf mengandalkan metode ‘irfani yang biasa disebut metode tazkiyah al-nafs. Meskipun ada perbedaan metode, tetapi kedua metode bisa melengkapi dan mendukung satu sama lain. Sebagian sufi memanfaatkan metode ‘irfani untuk mendapatkan pemahaman mendalam mengenai dunia metafisik dan dunia fisik (mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia). Dari pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi bisa dilihat manfaat metode ‘irfani dalam kajian ilmu-ilmu intelektual dan ilmu-ilmu empirik. Dalam kitabnya, Risalah al-Anwar fi ma Yumnah Shahib al-Khalwah min al-Asrar. Ibn ‘Arabi menceritakan hasil dari berbagai zikirnya. Melalui zikir, Ibn ‘Arabi mampu menembus berbagai dunia, mulai dari dunia fisik sampai dunia gaib. Pada zikir awal, Ibn ‘Arabi dibawa ke dunia mineral dan manfaat medisnya. Ketika terus melanjutkan zikirnya, Ibn ‘Arabi dibawa ke duniaa tumbuh-tumbuhan, dan ia dikenalkan pada berbagai jenis dan manfaat tumbuhan tersebut. Zikir selanjutnya membawa Ibn ‘Arabi menuju dunia hewan, dunia manusia, bahkan 23 jenis dunia gaib, dan ia sendiri memperoleh banyak sekali pengetahuan tentang berbagai dunia tersebut. Menurut informasi, Ibn Sina akan melakukan solat di masjid jika menemukan persoalan-persoalan rumit dalam filsafat dan sains. Dengan demikian, sufi seperti Ibn ‘Arabi dan filsuf seperti Ibn Sina memanfaatkan praktik-praktik ibadah yang kerap dilakukan oleh kaum sufi seperti zikir dan salat untuk mendapatkan ilmu mengenai banyak hal, terutama pemahaman terhadap dunia fisik dan non-fisik. Dari aspek ini, saintis Muslim, meskipun lebih banyak mengedepankan metode tajribi (observasi dan eksperimen) dalam mengembangkan ilmu-ilmu alam, tetap perlu mengambil metode tasawuf dalam menemukan ilmu dan kebenaran, dimana kaum sufi mengutamakan metode tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa) dengan melaksakan berbagai ritual ibadah (al-ibadah) termasuk zikir, serta melakukan praktik riyadhah dan mujahadah. Dari perspektif Islam, kesucian jiwa manusia menjadi syarat utama untuk memperoleh ilmu secara langsung dari sumber asalnya, yaitu Allah Swt. yang diketahui memiliki sifat al-‘Alim.


































KESIMPULAN

Ada beberapa manfaat jika metode para sufi yaitu metode irfani’ diamalkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dekat dengan Allah Swt sehingga kita bisa hidup tentram bahkan akibat dari metode pembersihan jiwa tersebut kita memiliki manfaat yaitu kemudahan dalam menuntut ilmu keislaman maupun ilmu fisik terutama sains seperti yang pernah terjadi pada sufi di jaman Islam klasik bahkan mereka memiliki kemampuan untuk melihat hal yang gaib untuk menuntut ilmu alam.







































DAFTAR PUSTAKA


Ja’far. 2016.“Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi”. Medan: Perdana
          Publishing

al-Ahwal

AL-AHWAL:
al-Muraqabah, al-Khauf, al-Raja’, dan al-Syawq

OLEH:
DOLI RAMADHAN
NIM:0705163027

DOSEN PENGAMPU:
Dr. JA’FAR, M.A




FISIKA-1
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SUMATRA UTARA











PENDAHULUAN

Beberapa contoh al-Ahwal seperti al-muraqabah, al-khauf, al raja’, dan al-syawq. Keadaan hati seorang sufi yang datang melalui anugerah Allah. Keadaan hati dalam mengingat dan mengagungkan Allah merupakan hal yang sangat penting dan mari kita mempelajari bagaimana al-Ahwal menurut para sufi dalam mengingat Allah.









































PEMBAHASAN

Berbeda dari al-maqamat yang diraih dari hasil usaha salik secara mandiri dengan melakukan ‘ibadah, mujahadah, dan riyadhah, al-ahwal tidak diraih secara mandiri, melainkan anugrah dari Allah Swt. dan keadaannya tidak kekal dalam diri seorang  salik.

Al-Muraqabah

Ajaran muraqabah merupakan salah satu bentuk dari al-ahwal. Kata al-muraqabah memang tidak digunakan Alquran, meskipun kata yang seakar dengannya dapat ditemukan antara lain raqiba, dan semua kata yang seakar dengan al-muraqabah disebut sebanyak 24 kali. Menurut al-Qusyairi, muraqabah didasari oleh Q.S. al-Ahzab/33: 52, serta hadis Nabi Muhammad Saw. mengenai al-iman, al-Islam, dan al-Ihsan, di mana makna al-ihsan (fa’illam takun tarahu fa innahu yaraka) merupakan isyarat dari muraqabah yang merupakan ilmu hamba untuk melihat Allah Swt, dan hati meyakini bahwa Allah Swt. Maha Pengawas, mengetahui keadaannya, melihat perbuatannya,dan mendengar ucapannya. Keadaan ini dirasakan ketika salik mengawasi diri sendiri terhadap segala perbuatannya di masa lalu, memperbaiki diri sendiri di masa kini, selalu berada di jalan kebenaran, mengadakan hubungan baik dengan Allah Swt. sambil menjaga hati, menjaga jiwa agar selalu berhubungan dengan-Nya, dan memelihara-Nya dari segala hal. Dengan demikian, seorang hamba memiliki keadaan al-muraqabah, yakni keyakinan seorang salik bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah Swt. dalam berbagai aktivitasnya, sehingga ia hanya akan melakukan amal kebaikan dalam hidupnya, dan membenci dan tidak akan ingin melakukan perbuatan maksiat dan dosa. 

Muraqabah merupakan pangkal kebaikan, ia dapat dicapai setalah melakukan muhasabah terhadap amal perbuatan sendiri. Muraqabah merupakan salah satu sikap mental yang tinggi yang mengandung adanya kesadaran diri selalu berhadapandengan Allah dalam keadaan diawasi-Nya.
Dengan demikian, seorang hamba memiliki keadaan al-muraqabah yakni keyakinan seorang salik bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah swt dalam berbagai aktivitasnya, sehingga ia hanya akan melakukan amal kebaikan dalamhidupnya, dan membenci dan tidak akan ingin melakukan perbuatan maksiat dan dosa. 






Takut (al-khauf)

Hakikat takut (al-khauf) dijelaskan secara berulang kali dalam Alquran, dan dapat ditemukan dalam hadis dan atsar. Hakikat al-khauf  dapat ditemukan dalam Q.S.al-Fathir/35: 28; Q.S.al-Bayyinah/98: 8; Q.S.Ali Imran/3: 175; Q.S.al-A’la/87: 10; Q.S. al-Rahman/55: 46; dan Q.S.al-Sajdah/32: 16. Kata takut disebut Alquran baik dalam bentuk al-khauf  maupun dalam bentuk al-khasyiya, meskipun maknanya tidak hanya berarti takut kepada Allah. Dalam bentuk al-khauf, disebut Alquran sebanyak 124 kali, terutama dalam bentuk khaufun,yukhafuna,dan akhafun, sedangkan dalam bentuk yakhsya, khasyiya dengan berbagai bentuknya disebut 48 kali. Dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 175, Allah Swt. berfirman yang artinya:

“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang beriman.”

Dalam Q.S. al-Sajadah/32: 16, Allah Swt. berfirman yang artinya:

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezki yang kami berikan  kepada mereka.”

Dalam Shahih al-Bukhari, disebutkan yang artinya:

“Dari Abi Hurairah berkata bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda bahwa tidak akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah ssebelum ada air susu yang masuk pada payudara, dan tidak dapat berkumpul debu-debu dalam perang di jalan Allah dan asap api neraka Jahannam.”
Menurut al-Qusyairi, “makna takut kepada Allah Swt. adalah takut kepada siksaan-Nya, baik di dunia maupun akhirat.” Abu al-Qasim al-Hakim mengatakan, “khauf memiliki dua bentuk: rahbah yakni orang yang berlindung kepada Allah Swt; dan khasyyah yakni orang yang ditarik kendali ilmu dan melaksanakan kebenaran. Berdasarkan pendapat mereka, al-khauf  berarti seorang hamba hanya takut kepada Allah Swt, dan tidak takut kepada selain-Nya. Takut kepada Allah Swt. adalah takut atas siksaan-Nya, sehingga seorang hamba akan melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. 

Harap (al-raja’)

Hakikat harap (al-raja’) dapat ditemukan dalam Alquran di antaranya dalam Q.S. al-Baqarah/2: 218; dan Q.S. al-Zumar/39: 53. Kata harap (al-raja’) tidak ditemukan dalam Alquran, meskipun bentuk lain dari akar yang sama dapat disebut sebanyak 28 kali, terutama dalam kata tarjuna, yarju, dan yarjuna yang maknanya antara lain harap atau berharap. Menurut al-Qusyariri, raja adalah ”ketergantungan hati pada sesuatu yang dicintai yang akan terjadi di masa yang akan datang.” ‘Abd Allah bin Khubiq berkata “raja” terdiri atas tiga bentuk: orang yang mengerjakan pekerjaan baik dan berharap dapat diterima; orang yang mengerjakan perbuatan jahat dan bertaubat; dan berharap mendapatkan ampunan; dan orang yang berdusta dan tidak mengulangi dosa, seraya mengharapkan ampunan. Jadi, konsep al-raja’ bermakna harapan seorang sufi kepada Allah Swt., berharap semua amal, tobat, dan ampunannya diterima Allah Swt.

Rindu (al-syawq)

Kaum sufi menilai penting konsep rindu kepada Allah Swt. sebagai kekasih sejati manusia, dan menjadi salah satu tanda kecintaan manusia kepada-Nya. Menurut al-Ghazali, orang yang memungkiri hakikat cinta kepada Allah Swt, maka pasti ia akan memungkiri hakikat cinta kepada Allah Swt., maka pasti ia akan memungkiri hakikat rindu. Apabila seorang hamba mencintai Allah Swt., maka ia pasti akan merindukan untuk bertemu dan melihat-Nya. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. al-‘Ankabut/29: 5 yang artinya:

“Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang Dialah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”

Dalam Shahih Muslim, disebutkan yang artinya:

“Dari ‘Ubaidah ibn al-Shamit, sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. berkata bahwa barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya. Barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak akan senang bertemu dengannya.”

Para sufi telah menjelaskan makna al-syawq dalam karya-karya mereka. Al-Qusyairi, mengatakan bahwa “rindu adalah keguncangan hati untuk menemui yang dicintai (Allah Swt). Cinta sangat bergantung kepada rindu. Abu ‘Ali al-Daqaq mengatakan bahwa “al-syawq adalah kerinduan yang bisa reda dengan bertemu dan melihat (Allah Swt). Dua pendapat sufi ini menegaskan bahwa rindu merupakan keinginan kuat hati untuk menemui dan melihat Kekasih sejatinya, yakni Allah Swt. 










KESIMPULAN

Al-Ahwal adalah perasaan dari seorang hamba kepada Allah Swt dari dzikir atau mengingat , kedekatan, dan cintanya dengan Allah Swt. Hamba merasa bahwa tiada yang maha mengetahui dan pengatur  kecuali Allah dan tiada yang dapat menenangkan hati kecuali datangnya dari Allah Swt.










































DAFTAR PUSTAKA

Irham, Iqbal. 2012. ” Membangun Moral Bangsa melalui Akhlak Tasawuf”. Ciputat: Pustaka al-
           Ihsan

Ja’far. 2016. “Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi”. Medan:
           Perdana Publishing

Rida dan Maqam lainnya


RIDA DAN MAQAM LAINNYA

OLEH:
DOLI RAMADHAN
NIM:0705163027

DOSEN PENGAMPU:
Dr. JA’FAR, M.A




FISIKA-1
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SUMATRA UTARA













PENDAHULUAN

Rida adalah maqam yang tertinggi dari semua perjalanan spiritual yang ditempuh sufi. Pada tahap ini, hati yang benar-benar suci sangat berperan untuk menjalani hidup sehari-harinya. Karena apabila bertaubat, berhati-hati (warak), tidak mengedepankan sifat duniawi (zuhud), tidak menyia-nyiakan harta (fakir), sabar, tawakal, dan cinta kepada Allah Swt, maka hati akan terasa sangat tentram akan takdir (rida) dari-Nya.Namun ada sebagian  sufi yang menilai bahwa ada maqam lain setelah rida. Semoga pembahasan ini dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui pembelajaran tentang al-maqamat.






































PEMBAHASAN

Rida (al-ridha)

Kata rida berasal dari kata radhiya, yarda, ridhawan, yang artinya “senang, puas, memilih, persetujuan, menyenangkan, dan menerima”. Dalam kamus bahasa Indonesia, rida adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat”. Kata rida dari berbagai bentuk disebut di dalam Alquran sebanyak 73 kali. Penyebutan istilah rida secara berulang kali dan dalam berbagai bentuk di dalam Alquran mengarahkan kepada kesimpulan bahwa Islam menilai penting maqam rida.
Menurut al-Ghazali, Islam menilai penting rida yang dapat dilihat dari berbagai dalil dalam Alquran, hadis dan atsar.

Dalam Q.S. al-Maidah/5: 119, Allah berfirman yang artinya:

“Allah berfirman bahwa hari ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka yang kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.”

Dalam Q.S. al-Taubah/9: 100, Allah Swt, berfirman yang artinya:

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”
Dalam Shahih Muslim, disebutkan yang artinya:

“Dari al-Abbas ibn Abd al-Muththalib, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah Saw. mengatakan bahwa akan merasakan nikmatnya iman siapa saja yang rida bilaa Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai rasulnya.”

Para sufi telah memberikan penegasan mengenai arti dari maqam terakhir yang mungkin dicapai oleh kaum sufi sebagaimana dijelaskan oleh sufi-sufi dari mazhab Sunni.Di antara mereka, Ibn Khatib mengatakan bahwa “rida adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir)  Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala. Menurut al-Hujwiri, rida terbagi menjadi dua macam: rida Allah terhadap hambanya, dan rida hamba terhadap Allah Swt. Rida Allah terhadap hamba-Nya adalah dengan cara memberikan pahala, nikmat, dan karamah-Nya, sedangkan rida hamba kepada Allah adalah melaksanakan segala perintah-Nya dan tunduk atas segala hukum-Nya. Harits al-Muhasibi berkata, “rida adalah ketentraman hati atas ketetapan takdir”. Ibn Atha’ berkata “ridha adalah penghargaan hati atas pilihan Allah untuk hamba-Nya sebab pilihan-Nya itu adalah pilihan terbaik”. Abu ‘Ali al-Daqaq berkata, “rida adalah tidak menentang hukum dan keputusan Allah Swt”. Dzun al-Nun al-Mishri berkata “tanda-tanda tawakal ada tiga, yakni meninggalkan usaha sebelum keputusan, menghilangkan kepahitan sebelum keputusan, dan cinta apabila mendapatkan cobaan. Abu ‘Umar al- Dimsyaqi berkata, “rida adalah meninggalkan keluh kesah ketika hukum telah diberlakukan.” Ruwaim berkata, “rida adalah menerima hukum dengan senang hati.”
Harits al-Muhasibi berkata, “rida adalah tenangnya hati atas berlakunya hukum”. Al-Nuri berkata, “rida adalah senangnya hati karena menerima keputusan pahit”. Menurut Nashr al-Dhin al-Thusi, rida adalah “tidak merasa kecewa, baik secara lahiriah maupun batiniah, dan baik hati, perkataan maupun perbuatan, atas segala yang terjadi dalam diri hamba, dengan harapan Allah akan senang sehingga Allah akan membebaskannya dari murka dan hukuman-Nya. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, rida memiliki dua derajat: rida kepada Allah Swt sebagai rabb dan membenci ibadah kepada selain-Nya; dan rida terhadap qada dan qadar Allah swt. Menurut Ibn Qudamah, makna rida adalah seorang hamba menyadari bahwa pengaturan Allah Swt. lebih baik dari pengaturan manusia; dan rida atas penderitaan, karena di balik penderitaan ada pahala apalagi penderitaan itu berasal dari Allah Swt. sebagai kekasihnya. 
Pengertian rida ini merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi. Suka dan duka, diterima dengan gembira, sebab apapun yang datang itu, adalah ketentuan  Allah yang maha Kuasa. Sikap mental seperti ini tumbuh melalui usaha demi usaha, perjuangan demi perjuangan mengikis habis segala perasaan gundah dan benci sehingga yang tinggal dalam hatinya hanya perasaan senang dan bahagia. Apapun yang datang dan pergi ia tetap bahagia. Sebagaimana dalam hadist Nabi menegaskan yang artinya:
“Sesungguhnya aku ini Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barangsiapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaknya ia keluar dari kolong langit dan cari Tuhan selain Aku”. 

Al-maqam lainnya
Apabila seorang sufi telah mencapai maqam ridha ini, maka berarti dia telah mencapai suatu tahap yang mengantarkannya kepada sifat yang mendekati kesempurnaan. Oleh karena itu, dikalangan sufi sendiri terdapat perbedaan pendapat tentang ridha. Menurut Qomar Kailani, sebagian besar sufi berpendapat bahwa ridha adalah maqam terakhir dari perjalanan sufi. Tetapi, bagi sufi yang mengakui adanya ittihad maka maqam itu masih berlanjut kepada maqam lain, seperti mahabbah, ma’rifah, al-fana’, hingga mencapai ittihad. 
Sebagian sufi menilai bahwa setelah mencapai maqam rida, seorang salik masih dapat mencapai maqam seperti makrifat (al-ma’rifah), dan menegaskan bahwa al-ridha bukan maqam tertinggi. Al-Kalabazi mengatakan bahwa sebagian sufi membagi makrifat menjadi dua, yakni al-ma’rifat haq yang berarti penegasan keesaan Allah atas sifat-sifat yang dikemukakan-Nya; dan maqrifat haqiqah yang bermakna makrifat yang tidak bisa dicapai dengan sarana apapun, sebab sifat-Nya tidak dapat ditembus dan ketuhanan-Nya tidak dapat dipahami. Menurutnya, makrifat bermakna “hati (al-sirr) menyaksikan kekuasaan Allah Swt. dan merasakan besarnya kebenaran-Nya dan mulianya kehebatan-Nya yang tidak bisa diungkap dengan ibarat apapun. Al-Qusyairi menjelaskan bahwa maksud para sufi dari istilah makrifat adalah “sifat dari orang-orang yang mengenal Allah Swt. dengan nama dan sifat-Nya, dan membenarkan Allah Swt. dengan melaksanakan ajaran-Nya dalam segala perbuatan… Makrifat adalah pengosongan diri untuk selalu mengingat Allah Swt, tidak menyaksikan selain menyaksikan-Nya, dan tidak kembali kepada selain-Nya. Nashr-Din al Thusi menjelaskan bahwa makrifah adalah derajat tertinggi pengetahuan tentan Allah Swt. dan pengetahuan tentang-Nya memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan makrifat paling tinggi dimiliki oleh kaum ‘urafa, ahl al-yaqin, dan ahl-al hudhur yang menyaksikan-Nya secara langsung (dengan hati). Bagi sebagian sufi, makrifah lebih tinggi dari rida.
Sebagian sufi lain menghadirkan ajaran lain mengenai al-maqam tertinggi. Al-Hallaj mengenalkan paham al-hulul, Abd Yazid al-Bistami memiliki ajaran tentang al-ittihad, dan Ibn ‘Arabi mengajarkan paham wahdah al-wujud yang dielaborasi lebih lanjut oleh Mulla Shadra. Ketiga teori ini memang mendapatkan penolakan dari banyak fukaha dan teolog Sunni, tetapi diterima oleh mayoritas fukana Syiah. 








KESIMPULAN
Jika para sufi telah terbiasa mengamalkan tingkat al-Maqamat dari taubat hingga cinta dalam hidupnya, maka mencapai maqam rida bisa mereka capai. Karena rida merupakan bentuk ketenteraman dan kebaikan hati sepenuhnya bahwa menerima keputusan dari Allah merupakan hal yang terbaik bagi dirinya. Begitu juga dengan tingkatan yang lainnya seperti makrifat yang merupakan paling sangat dekat kepada Allah Swt.




















DAFTAR PUSTAKA

Irham, Iqbal. 2012. “Membangun Moral Bangsa melalui Akhlak Tasawuf”. Ciputat: Pustaka Al-                    Ihsan
Ja’far. 2016. “Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi”.Medan:Perdana   
          Publishing

Sabtu, 03 Juni 2017

Tawakal dan Cinta

TAWAKAL DAN CINTA

OLEH:
DOLI RAMADHAN
NIM:0705163027

DOSEN PENGAMPU:
Dr. JA’FAR, M.A




FISIKA-1
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SUMATRA UTARA













PENDAHULUAN

Setelah sampai fakir dan sabar, maka ada al-maqam yang disebut tawakal dan cinta, kedua jenis ini adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh jiwa dan raga dengan bergantung penuh pada-Nya. Tidak ada tempat mengadu dan berteduh kecuali pada Allah swt karena sesungguhnya Allah maha tahu, maha pelindung, maha pengasih dan lagi maha penyayang.
Mari kita mempelajari dan mengamalkannya agar kita taat kepada Allah dan senantiasa dekat dengan-Nya. Semoga pembahasan ini dapat memberikan ilmu yang bermanfaat.






































PEMBAHASAN

Tawakal (al-tawakkul)
Berasal dari bahasa Arab, wakila, yakilu, wakilan yang berarti “mempercayakan, memberi, membuang urusan, bersandar, dan bergantung”, istilah tawakal disebut di dalam Alquran dalam berbagai bentuk sebanyak 70 kali. Dalam bahasa Indonesia, tawakal adalah “pasrah diri kepada kehendak Allah; percaya dengan sepenuh hati kepada Allah (dalam penderitaan dan sebagainya), atau sesudah berikhtiar baru berserah kepada Allah”. Diantara kata tawakal yang digunakan dalam Alquran, yakni wakkalna sebanyak 1 kali, wukila sebanyak 1 kali, tawakaltu sebanyak 7 kali, tawakalna sebanyak 4 kali, natawakala sebanyak 1 kali, yatawakal sebanyak 12 kali, yatawakalun sebanyak 5 kali, tawakal sebanyak 9 kali, tawakalu sebanyak 2 kali, wakilun sebanyak 11 kali, wakila sebanyak 13 kali, al-mutawakkilun sebanyak 3 kali, dan al-mutawakkilin sebanyak 1 kali. Data ini menegaskan bahwa ajaran Islam menghendaki para salik untuk menegakkan dan mendapatkan maqam tawakal.
Al-Ghazali menyebutkan dalil-dalil kewajiban dan keutamaan tawakal kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din. Diantara dalilnya adalah Q.S. al-Ma’idah/5: 23; Q.S. Ibrahim/14: 12; Q.S. al-Thalaq/65: 3; dan Q.S. Ali Imran/3: 159. 

Allah swt berfirman dalam Q.S. Ali Imran/3: 159 yang artinya:

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadanya.

Dalam Sunan al-Turmudzi disebutkan yang artinya:

Dari ‘Umar ibn al-Khaththab, ia berkata bahwa Rasulullah saw berkata sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, pasti Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung, pagi hari pergi dalam keadaan lapar dan sore hari pulang dalam keadaan kenyang.

Dalam karya-karya tasawuf, para sufi telah memberikan penjelasan mengenai makna tawakal. Hamdun al-Qashshar berkata “tawakal adalah berpegang teguh kepada Allah swt”. Sahl bin ‘Abd Allah al-Tustari berkata, “tawakal adalah melepaskan segala apa yang dikehendaki dengan menyandarkan diri kepada Allah swt”. Abu Ya’qub Ishaq al-Nahr al-Jauzi berkata, “tawakal adalah menyerahkan diri kepada Allah swt dengan sebenarya…” Abu Ali al-Daqaq berkata, “tawakal kepada Allah swt memiliki tiga tingkat, yakni tawakal, taslim, dan tafwidh. Orang yang tawakal adalah orang yang merasa tenang dengan janji Allah swt. Orang yang taslim adalah orang yang merasa cukup dengan ilmu-Nya. Orang yang tafwidh adalah orang yang rela dengan hukum-Nya. Jadi, tawakal adalah permulaan, taslim adalah pertengahan, dan tafwidh adalah akhir.
Menurut Nashr al-Din al-Thusi, tawakal adalah “mempercayakan semua urusan kepada Allah, dan keyakinan Allah memiliki kearifan dan kekuasaan untuk menjalankan segala urusan sesuai pengaturan-Nya…tawakal tidak bermakna bahwa seorang hamba tidak melakukan apapun dengan alasan menyerahkan semua urusan kepada Allah, tetapi tawakal bermakna bahwa setiap orang harus mempercayai bahwa segala sesuatu selain Allah pasti berasal dari Allah, dan segala sesuatu bekerja sesuai hubungan sebab-akibat”. Menurut Ibn Qudamah, ada tiga derajat tawakal: menyerahkan diri hanya kepada Allah swt dan selalu mengharapkan pertolongan-Nya; pasrah dan tidak bersandar kecuali hanya kepada Allah seperti seorang anak yang hanya bersandar kepada ibunya; dan tidak berpisah dengan Allah swt dan melihat diri sendiri seperti orang mati yang posisinya seperti kepasrahan mayit di tangan orang-orang yang memandikannya. Akan tetapi, tawakal tidak menafikan usaha, sebab usaha menjadi sangat penting dalam Islam. 
Secara harfiah, tawakal berarti menyerahkan diri. Secara umum pengertian tawakal adalah pasrah secara bulat kepada Allah setelah melaksanakan suatu rencana dan usaha. Tidak boleh memastikan terhadap suatu rencana yang telah disusun, tetapi harus bersikap menyerahkannya kepada Allah. Manusia hanya bisa merencanakan dan mengusahakan, tetapi Tuhan yang menentukan hasilnya.
Akan tetapi bagi kaum sufi pengertian tawakal itu tidak cukup kalau hanya sekedar menyerahkan diri seperti itu. Mereka mempunyai citra tersendiri. Ini berarti bahwa dalam segala hal, baik sikap maupun perbuatan harus diterima dengan tulus. Apapun yang terjadi adalah diluar pintu usaha, tetapi semuanya itu datang dari Allah. Tidak meminta, tidak menolak, dan tidak menduga-duga. Nasib apapun yang diterima itu adalah karunia Allah. 

Cinta (al-mahabbah)
Menurut al-Ghazali, al-mahabbah adalah al-maqam sebelum rida. Kaum sufi mendasari ajaran mereka tentang cinta dengan Alquran, hadis, dan atsar. Diantara dalilnya adalah Q.S. al-Ma’idah/5: 54; Q.S. al-Shaff/61: 4; dan Q.S. Ali ‘Imran/3: 31. Kata cinta disebut Alquran secara berulang kali, meskipun tidak hanya dalam makna cinta kepada Allah swt sebagaimana yang dimaksudkan oleh kaum sufi. Kata hub disebut Alquran sebanyak 99 kali dalam berbagai bentuk kata, antara lain hubb dan yuhibbu, sedangkan dalam kata al-mahabbah tidak digunakan  Alquran.

Dalam Q.S. al-Baqarah/2: 165, Allah swt berfirman yang artinya:

Dan diantaraa manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal).

Dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 31, Allah swt berfirman yang artinya:

Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalam Shahih Muslim, disebutkan yang artinya:

Menceritakan kepada kami Zuhair ibn Harb, menceritakan kepada kami Jarir, dari Suhail, dari ayahnya, dari Abi Hurairah, ia berkata Raulullah saw bersabda jika Allah mencintai hamba-Nya, Allah berkata kepada jibril ‘wahai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai fulan, maka cintailah dia.’ Maka Jibril pun mencintainya, kemudian menyeru kepada para penduduk langit, lalu berkata
‘sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah dia!’ Kemudian Allah memberikan pengabulan kepadanya di bumi.

Sedangkan makna al-mahabah dalam tasawuf dapat dilihat dari ucapan kaum sufi. Junaid al-Baghdadi, misalnya, berkata “cinta adalah masuknya sifat-sifat kekasih pada sifat-sifat mencintai”. Muhammad bin ‘Ali al-Kattani berkata “cinta mengutamakan yang dicintai”. Husain al-Manshur al-Hallaj berkata bahwa “hakikat cinta itu jika kamu berdiri bersama kekasihmu dengan menanggalkan sifat-sifatmu”. Muhammad bin al-Fadhal al-Farawi berkata “cinta itu adalah runtuhnya semua cinta dalam hati kecuali kepada kekasih”. Menurut ibn Qudamah, tanda cinta kepada Allah swt adalah senantiasa berzikir kepada Allah; gemar mengasingkan diri hanya untuk bermunajat kepada-Nya seperti membaca Alquran dan tahajud; merasa rugi bila melewatkan waktu tanpa menyebut nama-Nya; dan menyayangi semua hamba Allah, mengasihi mereka dan bersikap tegas terhadap musuh-musuh-Nya. Menurut al-Ghazali, mengutip pendapat Yahya bin Mu’az, indikator seorang hamba mencintai Allah swt adalah mengutamakan perkataaan Allah daripada perkataan manusia, mengutamakan bertemu dengan Allah daripada bertemu dengan makhluk, dan mengutamakan ibadah dengan Allah swt daripada melayani manusia. 


























KESIMPULAN
Tawakal adalah segala bentuk keyakinan seseorang bahwa hasil yang telah dilakukan atau yang diusahakan merupakan pemberian dari Allah dan semua yang dilakukan orang tersebut hingga ke hasil merupakan kehendak Allah, maka orang tersebut yakin bahwa hanya kepada-Nya lah meminta pertolongan dan hanya kepadanya-Nya lah tempat bersandar atau bergantung. Cinta adalah keadaan seseorang yang sangat menyayangi dan tidak mau merasa jauh dengan-Nya sedikitpun, hati ingin selalu mengingat dan senantiasa ingin merasa dekat dengan-Nya. Jikalau kita mencintai Allah pasti kita akan bertawakal (berusaha dan menyerahkan diri kepada Allah apa yang telah kita capai) dan kalau kita cinta kepada Allah maka jelas kita selalu lebih bertawakal kepada-Nya.




































DAFTAR PUSTAKA

Irham,Iqbal.  2012. “Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf”. Ciputat: Pustaka Al-Ihsan

Ja’far. 2016. “Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi”. Medan: Perdana Publishing

Fakir dan Sabar



FAKIR DAN SABAR

OLEH:
DOLI RAMADHAN
NIM:0705163027

DOSEN PENGAMPU:
Dr. JA’FAR, M.A

 


FISIKA-1
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SUMATRA UTARA












PENDAHULUAN

Fakir dan sabar termasuk tingkatan al-maqamat setelah tahap tobat, warak, dan zuhud.Pada tahap fakir dan sabar sangatlah sulit bahkan kita tidak pernah menemui orang yang komplit tingkatannya seperti ini dimuka umum pada zaman sekarang. Maka mari kita pelajari bagaimana bentuk kedekatan terhadap Allah pada tahap fakir dalam hidup sangat sederhana yang berkecukupan dan kesabaran atas ibadah, musibah, maupun godaan nafsu. Semoga pembelajaran ini meningkatkan iman dan takwa kita terhadap Allah swt.











































PEMBAHASAN


Fakir (al-faqr)
Dalam terminologi alquran, istilah fakir berasal dari bahasa Arab, faqura, yafquru, faqran yang artinya miskin. Istilah faqr bermakna kemiskinan. Dalam bahasa Indonesia, fakir berarti “orang yang sangat berkekurangan, orang yang terlalu miskin, atau orang yang dengan sengaja membuat dirinya menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin”. Alquran menyebutkan istilah fakir dalam berbagai bentuk, seperti al- faqra sebanyak 1 kali, al- faqir sebanyak 3 kali, faqira sebanyak 2 kali, al- fuqara sebanyak 7 kali, dan faqirah sebanyak 1 kali.

Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan yang artinya:
Memberitakan kepada kami Abu al-Walid, memberitakan kepada kami Salm ibn Zarir, memberitakan kepada kami Abu Raja dari ‘Imran ibn Hushain r.a. dari nabi Muhammad saw, beliau bersabda bahwa aku pernah mengamati di dalam surga, lalu aku melihat yang terbanyak penghuninya adalah orang-orang fakir, dan aku pernah mengamati di dalam neraka, lalu aku melihat yang terbanyak penghuninya adalah wanita.

Dalam Sunan al-Turmudzi disebutkan yang artinya:
Memberitakan kepada kami Abu Kuraib, memberitakan kepada kami al-Muharibi, dari Muhammad ibn ‘Amr dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah saw berkata bahwa orang-orang  fakir dari umat Islam akan masuk surga setengah hari sebelum orang-orang kaya, yaitu waktu yang lamanya lima ratus tahun.

Beberapa dalil tentang fakir adalah Q.S. al- Hasyr/ 59: 273. Mengenai makna fakir, al-Kalabazi berkata “fakir adalah orang tidak boleh mencari mata pencaharian, kecuali orang itu khawatir tidak mampu melaksanakan tugas keagamaan”. Al-Nuri berkata “fakir adalah orang yang harus bungkam ketika tidak memiliki sesuatu, bermurah hati dan tidak hanya memikirkan diri sendiri ketika memiliki sesuatu”. Menurut Nashr al- Dhin al- Thusi, fakir dalam kajian tasawuf adalah “seseorang tidak memiliki kecintaan terhadap kekayaan dan hiasan duniawi, dan jika ia memilikinya maka ia tidak berkeinginan untuk menyimpan dan mengumpulkannya”. Menurut Ibn Qayyim al- Jauziyah, fakir tidak bermakna menafikan kekayaan dan harta, sebab para nabi dan rasul adalah orang-orang kaya dan memiliki kekuasaan, tetapi makna fakir adalah seorang hamba senantiasa memiliki kebutuhan terhadap Allah swt dalam keadaan apapun. Hakikat fakir adalah tidak membutuhkan kepada segala hal dan hanya membutuhkan Allah swt dalam berbagai keadaan. Menurut Ibn Qudamah, derajat tertinggi dalam fakir adalah seorang salik benci kepada harta (zuhud) dan tidak merasa senang dengan harta (rida).
Menurut al- Ghazali, fakir dapat bermakna tidak memiliki harta. Menurutnya, ada lima tingkatan fakir, dua diantaranya yang paling tinggi derajatnya, yakni seorang hamba yang tidak suka diberi harta, merasa tersiksa dengan harta, dan menjaga diri dari kejahatan dan kesibukan untuk mencari harta; dan seorang hamba tidak merasa senang bila mendapatkan harta, dan tidak merasa benci bila tidak mendapatkan harta. 
Secara harfiah faqr biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, memerlukan sesuatu atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi, faqr adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Faqr berarti tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban kepada-Nya. Sifat ini juga bermakna bahwa kita tidak meminta sungguhpun hal itu tidak ada pada diri kita. Namun demikian kita menerima jika diberi, tidak meminta tetapi tidak menolak. Lebih dari itu, sikap ini adalah merasa cukup dengan apa yang telah ada.
Sikap faqr dapat menghindarkan seseorang dari ketamakan dan keserakahan. Sikap faqr dapat memunculkan sikap wara’ yaitu sikap yang menurut para sufi, adalah sikap berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas masalahnya.
Sebenarnya, bagaimanapun penekanan yang diberikan masing-masing sufi dalam masalah ini, namun pesan yang tersirat di dalamnya adalah agar manusia bersikap hati-hati terhadap pengaruh  negatif yang timbul akibat keinginan terhadap harta kekayaan. 


Sabar (al- shabr)
Kata sabar berasal dari bahasa Arab, shabara, yashbiru, shabran, maknanya adalah mengikat, bersabar, menahan diri dari larangan hukum, dan menahan diri dari kesedihan. Kata ini disebutkan dalam Alquran sebanyak 103 kali. Dalam bahasa Indonesia, sabar bermakna “tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati), dan tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, dan tidak terburu nafsu”. Kata sabar disebut Alquran berulang kali dengan berbagai bentuk kata yakni shabara sebanyak 2 kali, shabartum sebanyak 2 kali, shabarna sebanyak 2 kali, shabaru sebanyak 15 kali, thasbiru, sebanyak 1 kali,  sebanyak 5 kali, atashbiruna sebanyak 1 kali, nashbira sebanyak 1 kali, walanashbiranna sebanyak 1 kali, yashbir sebanyak 1 kali, yashbiru sebanyak 1 kali, ashbir sebanyak 19 kali, ashbiru sebanyak 6 kali, shabiru sebanyak 1 kali, ma ashbarahum sebanyak 1 kali, ashthabir sebanyak 3 kali, al-ashshabru sebanyak 6 kali, shabra sebanyak 8 kali, shabruka sebanyak 1 kali, shabiran sebanyak 2 kali, al-shabirun sebanyak 3 kali, al-shabirin sebanyak 15 kali, shabirah sebanyak 1 kali, al-shabirat sebanyak 1 kali, dan shabbarin sebanyak 4 kali.

Allah swt berfirman Q.S. al-Anfal/ 8: 46 yang artinya,
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan yang artinya:
Memberitakan kepada kami Muhammad ibn Basysyar al-Abdi, mengabarkan kepada kami Muhammad ibn Ja’far, memberitakan kepada kami Syu’bah dari Tsabit, ia berkata aku mendengar Anas ibn Malik mengatakan bahwa Rasulullah saw berkata sabar yang sempurna adalah pada pukulan (saat menghadapi cobaan) yang pertama.

Al-Qusyairi dan al- Ghazali menyebutkan dalil-dalil sabar, antara lain Q.S. al-Sajdah/32: 24; Q.S. al-A’raf/7: 137; Q.S. al-Nahl/16: 96,127; Q.S. al-Qashash/27: 54; Q.S. al-Zumar/39: 10; Q.S. al-Anfal/ 8: 46; Q.S. al-Thur/52: 48; dan Q.S. Shad/38: 44. Mengenai makna sabar menurut kaum sufi awal, Dzun al- Nun al- Mishri, misalnya, pernah mengatakan bahwa “sabar adalah menjauhi hal-hal yang bertentangan, bersikap tenang ketika menelan pahitnya cobaan, dan menampakkan sikap kaya dengan menyembunyikan kefakiran dalam kehidupan”. Ibn ‘Atha berkata: “sabar adalah tertimpa cobaan dengan tetap berperilaku baik”. Sebagian ulama, kata al-Qusyairi, berkata: “sabar adalah tertimpa cobaan dengan tetap bersikap baik dalam pergaulan sebagaimana keadaan sehat.” Menurut Nashr al-Din al-Thusi, sabar secara harfiah bermakna “mencegah jiwa dari perasaan waswas ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.” Al-Thusi membagi sabar menjadi tiga jenis: sabar kaum awam, yakni menjaga jiwa agar tetap kokoh dalam kesabaran dan tetap konsisten dalam kekuatannya; kesabaran kaum zuhud, yakni rasa takut dan sikap sabar kepada Allah dalam harapan untuk memperoleh ganjaran di akhirat; dan kesabaran ahli hikmah, yakni merasakan kebahagiaan walaupun ditimpa musibah. Al-Ghazali, Ibn Qudamah, dan Ibn Qayyim al-Jauziyah membagi sabar menjadi 3: sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari godaan untuk melakukan perbuatan maksiat, dan sabar atas musibah dari Allah swt. 
Suatu kesabaran memang dibutuhkan oleh seseorang, terutama seorang sufi yang ingin mencapai tujuannya. Namun demikian, kata al-Ghazali kesabaran itu baru dapat timbul apabila adanya iman yang kuat. Sebab itu, menurut al-Ghazali, sabar itu merupakan kondisi jiwa yang timbul karena iman.
Dengan demikian sabar itu erat hubungannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap, dan pengendalian emosi. Apabila seseorang telah mampu mengontrol dan mengendalikan nafsunya, maka sikap dan daya sabar itu akan tercipta. 
































KESIMPULAN

Fakir adalah kondisi seseorang yang ingin dekat kepada Allah swt dengan memutuskan kebutuhan duniawi yang berupa uang dan harta kekayaan karena segala kebutuhan di dunia harus dibeli dengan uang dan harta sebagai dasarnya, maka agar tidak terjebak dalam keinginan memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat haruslah membatasi diri dari kehidupan dunia serta uang harta tersebut lebih baik disedekahkan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Sabar adalah keadaan seseorang yang menahan sifat buruk seperti  emosional dan nafsu agar hatinya suci dan tenteram mengingat Allah swt. Dalam dua hal fakir dan sabar ada keterkaitan antar keduanya yakni didalam hidup serba berkecukupan (fakir) harus senantiasa sabar untuk membatasi diri dari sikap konsumtif manusia jaman sekarang bahkan ketika ada rezeki harus sebahagian diberikan kepada yang lebih membutuhkan.




































DAFTAR PUSTAKA


Irham,Iqbal.  2012. “Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf”. Ciputat: Pustaka Al-Ihsan


Ja’far. 2016. “Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis Dan Praktis Ajaran Kaum Sufi”.  Medan: Perdana Publishing