AL-AHWAL:
al-Muraqabah, al-Khauf, al-Raja’, dan al-Syawq
OLEH:
DOLI RAMADHAN
NIM:0705163027
DOSEN PENGAMPU:
Dr. JA’FAR, M.A
FISIKA-1
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SUMATRA UTARA
PENDAHULUAN
Beberapa contoh al-Ahwal seperti al-muraqabah, al-khauf, al raja’, dan al-syawq. Keadaan hati seorang sufi yang datang melalui anugerah Allah. Keadaan hati dalam mengingat dan mengagungkan Allah merupakan hal yang sangat penting dan mari kita mempelajari bagaimana al-Ahwal menurut para sufi dalam mengingat Allah.
PEMBAHASAN
Berbeda dari al-maqamat yang diraih dari hasil usaha salik secara mandiri dengan melakukan ‘ibadah, mujahadah, dan riyadhah, al-ahwal tidak diraih secara mandiri, melainkan anugrah dari Allah Swt. dan keadaannya tidak kekal dalam diri seorang salik.
Al-Muraqabah
Ajaran muraqabah merupakan salah satu bentuk dari al-ahwal. Kata al-muraqabah memang tidak digunakan Alquran, meskipun kata yang seakar dengannya dapat ditemukan antara lain raqiba, dan semua kata yang seakar dengan al-muraqabah disebut sebanyak 24 kali. Menurut al-Qusyairi, muraqabah didasari oleh Q.S. al-Ahzab/33: 52, serta hadis Nabi Muhammad Saw. mengenai al-iman, al-Islam, dan al-Ihsan, di mana makna al-ihsan (fa’illam takun tarahu fa innahu yaraka) merupakan isyarat dari muraqabah yang merupakan ilmu hamba untuk melihat Allah Swt, dan hati meyakini bahwa Allah Swt. Maha Pengawas, mengetahui keadaannya, melihat perbuatannya,dan mendengar ucapannya. Keadaan ini dirasakan ketika salik mengawasi diri sendiri terhadap segala perbuatannya di masa lalu, memperbaiki diri sendiri di masa kini, selalu berada di jalan kebenaran, mengadakan hubungan baik dengan Allah Swt. sambil menjaga hati, menjaga jiwa agar selalu berhubungan dengan-Nya, dan memelihara-Nya dari segala hal. Dengan demikian, seorang hamba memiliki keadaan al-muraqabah, yakni keyakinan seorang salik bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah Swt. dalam berbagai aktivitasnya, sehingga ia hanya akan melakukan amal kebaikan dalam hidupnya, dan membenci dan tidak akan ingin melakukan perbuatan maksiat dan dosa.
Muraqabah merupakan pangkal kebaikan, ia dapat dicapai setalah melakukan muhasabah terhadap amal perbuatan sendiri. Muraqabah merupakan salah satu sikap mental yang tinggi yang mengandung adanya kesadaran diri selalu berhadapandengan Allah dalam keadaan diawasi-Nya.
Dengan demikian, seorang hamba memiliki keadaan al-muraqabah yakni keyakinan seorang salik bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah swt dalam berbagai aktivitasnya, sehingga ia hanya akan melakukan amal kebaikan dalamhidupnya, dan membenci dan tidak akan ingin melakukan perbuatan maksiat dan dosa.
Takut (al-khauf)
Hakikat takut (al-khauf) dijelaskan secara berulang kali dalam Alquran, dan dapat ditemukan dalam hadis dan atsar. Hakikat al-khauf dapat ditemukan dalam Q.S.al-Fathir/35: 28; Q.S.al-Bayyinah/98: 8; Q.S.Ali Imran/3: 175; Q.S.al-A’la/87: 10; Q.S. al-Rahman/55: 46; dan Q.S.al-Sajdah/32: 16. Kata takut disebut Alquran baik dalam bentuk al-khauf maupun dalam bentuk al-khasyiya, meskipun maknanya tidak hanya berarti takut kepada Allah. Dalam bentuk al-khauf, disebut Alquran sebanyak 124 kali, terutama dalam bentuk khaufun,yukhafuna,dan akhafun, sedangkan dalam bentuk yakhsya, khasyiya dengan berbagai bentuknya disebut 48 kali. Dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 175, Allah Swt. berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang beriman.”
Dalam Q.S. al-Sajadah/32: 16, Allah Swt. berfirman yang artinya:
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.”
Dalam Shahih al-Bukhari, disebutkan yang artinya:
“Dari Abi Hurairah berkata bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda bahwa tidak akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah ssebelum ada air susu yang masuk pada payudara, dan tidak dapat berkumpul debu-debu dalam perang di jalan Allah dan asap api neraka Jahannam.”
Menurut al-Qusyairi, “makna takut kepada Allah Swt. adalah takut kepada siksaan-Nya, baik di dunia maupun akhirat.” Abu al-Qasim al-Hakim mengatakan, “khauf memiliki dua bentuk: rahbah yakni orang yang berlindung kepada Allah Swt; dan khasyyah yakni orang yang ditarik kendali ilmu dan melaksanakan kebenaran. Berdasarkan pendapat mereka, al-khauf berarti seorang hamba hanya takut kepada Allah Swt, dan tidak takut kepada selain-Nya. Takut kepada Allah Swt. adalah takut atas siksaan-Nya, sehingga seorang hamba akan melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Harap (al-raja’)
Hakikat harap (al-raja’) dapat ditemukan dalam Alquran di antaranya dalam Q.S. al-Baqarah/2: 218; dan Q.S. al-Zumar/39: 53. Kata harap (al-raja’) tidak ditemukan dalam Alquran, meskipun bentuk lain dari akar yang sama dapat disebut sebanyak 28 kali, terutama dalam kata tarjuna, yarju, dan yarjuna yang maknanya antara lain harap atau berharap. Menurut al-Qusyariri, raja adalah ”ketergantungan hati pada sesuatu yang dicintai yang akan terjadi di masa yang akan datang.” ‘Abd Allah bin Khubiq berkata “raja” terdiri atas tiga bentuk: orang yang mengerjakan pekerjaan baik dan berharap dapat diterima; orang yang mengerjakan perbuatan jahat dan bertaubat; dan berharap mendapatkan ampunan; dan orang yang berdusta dan tidak mengulangi dosa, seraya mengharapkan ampunan. Jadi, konsep al-raja’ bermakna harapan seorang sufi kepada Allah Swt., berharap semua amal, tobat, dan ampunannya diterima Allah Swt.
Rindu (al-syawq)
Kaum sufi menilai penting konsep rindu kepada Allah Swt. sebagai kekasih sejati manusia, dan menjadi salah satu tanda kecintaan manusia kepada-Nya. Menurut al-Ghazali, orang yang memungkiri hakikat cinta kepada Allah Swt, maka pasti ia akan memungkiri hakikat cinta kepada Allah Swt., maka pasti ia akan memungkiri hakikat rindu. Apabila seorang hamba mencintai Allah Swt., maka ia pasti akan merindukan untuk bertemu dan melihat-Nya. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. al-‘Ankabut/29: 5 yang artinya:
“Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang Dialah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”
Dalam Shahih Muslim, disebutkan yang artinya:
“Dari ‘Ubaidah ibn al-Shamit, sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. berkata bahwa barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya. Barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak akan senang bertemu dengannya.”
Para sufi telah menjelaskan makna al-syawq dalam karya-karya mereka. Al-Qusyairi, mengatakan bahwa “rindu adalah keguncangan hati untuk menemui yang dicintai (Allah Swt). Cinta sangat bergantung kepada rindu. Abu ‘Ali al-Daqaq mengatakan bahwa “al-syawq adalah kerinduan yang bisa reda dengan bertemu dan melihat (Allah Swt). Dua pendapat sufi ini menegaskan bahwa rindu merupakan keinginan kuat hati untuk menemui dan melihat Kekasih sejatinya, yakni Allah Swt.
KESIMPULAN
Al-Ahwal adalah perasaan dari seorang hamba kepada Allah Swt dari dzikir atau mengingat , kedekatan, dan cintanya dengan Allah Swt. Hamba merasa bahwa tiada yang maha mengetahui dan pengatur kecuali Allah dan tiada yang dapat menenangkan hati kecuali datangnya dari Allah Swt.
DAFTAR PUSTAKA
Irham, Iqbal. 2012. ” Membangun Moral Bangsa melalui Akhlak Tasawuf”. Ciputat: Pustaka al-
Ihsan
Ja’far. 2016. “Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi”. Medan:
Perdana Publishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar