Sabtu, 10 Juni 2017

Rida dan Maqam lainnya


RIDA DAN MAQAM LAINNYA

OLEH:
DOLI RAMADHAN
NIM:0705163027

DOSEN PENGAMPU:
Dr. JA’FAR, M.A




FISIKA-1
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SUMATRA UTARA













PENDAHULUAN

Rida adalah maqam yang tertinggi dari semua perjalanan spiritual yang ditempuh sufi. Pada tahap ini, hati yang benar-benar suci sangat berperan untuk menjalani hidup sehari-harinya. Karena apabila bertaubat, berhati-hati (warak), tidak mengedepankan sifat duniawi (zuhud), tidak menyia-nyiakan harta (fakir), sabar, tawakal, dan cinta kepada Allah Swt, maka hati akan terasa sangat tentram akan takdir (rida) dari-Nya.Namun ada sebagian  sufi yang menilai bahwa ada maqam lain setelah rida. Semoga pembahasan ini dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui pembelajaran tentang al-maqamat.






































PEMBAHASAN

Rida (al-ridha)

Kata rida berasal dari kata radhiya, yarda, ridhawan, yang artinya “senang, puas, memilih, persetujuan, menyenangkan, dan menerima”. Dalam kamus bahasa Indonesia, rida adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat”. Kata rida dari berbagai bentuk disebut di dalam Alquran sebanyak 73 kali. Penyebutan istilah rida secara berulang kali dan dalam berbagai bentuk di dalam Alquran mengarahkan kepada kesimpulan bahwa Islam menilai penting maqam rida.
Menurut al-Ghazali, Islam menilai penting rida yang dapat dilihat dari berbagai dalil dalam Alquran, hadis dan atsar.

Dalam Q.S. al-Maidah/5: 119, Allah berfirman yang artinya:

“Allah berfirman bahwa hari ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka yang kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.”

Dalam Q.S. al-Taubah/9: 100, Allah Swt, berfirman yang artinya:

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”
Dalam Shahih Muslim, disebutkan yang artinya:

“Dari al-Abbas ibn Abd al-Muththalib, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah Saw. mengatakan bahwa akan merasakan nikmatnya iman siapa saja yang rida bilaa Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai rasulnya.”

Para sufi telah memberikan penegasan mengenai arti dari maqam terakhir yang mungkin dicapai oleh kaum sufi sebagaimana dijelaskan oleh sufi-sufi dari mazhab Sunni.Di antara mereka, Ibn Khatib mengatakan bahwa “rida adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir)  Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala. Menurut al-Hujwiri, rida terbagi menjadi dua macam: rida Allah terhadap hambanya, dan rida hamba terhadap Allah Swt. Rida Allah terhadap hamba-Nya adalah dengan cara memberikan pahala, nikmat, dan karamah-Nya, sedangkan rida hamba kepada Allah adalah melaksanakan segala perintah-Nya dan tunduk atas segala hukum-Nya. Harits al-Muhasibi berkata, “rida adalah ketentraman hati atas ketetapan takdir”. Ibn Atha’ berkata “ridha adalah penghargaan hati atas pilihan Allah untuk hamba-Nya sebab pilihan-Nya itu adalah pilihan terbaik”. Abu ‘Ali al-Daqaq berkata, “rida adalah tidak menentang hukum dan keputusan Allah Swt”. Dzun al-Nun al-Mishri berkata “tanda-tanda tawakal ada tiga, yakni meninggalkan usaha sebelum keputusan, menghilangkan kepahitan sebelum keputusan, dan cinta apabila mendapatkan cobaan. Abu ‘Umar al- Dimsyaqi berkata, “rida adalah meninggalkan keluh kesah ketika hukum telah diberlakukan.” Ruwaim berkata, “rida adalah menerima hukum dengan senang hati.”
Harits al-Muhasibi berkata, “rida adalah tenangnya hati atas berlakunya hukum”. Al-Nuri berkata, “rida adalah senangnya hati karena menerima keputusan pahit”. Menurut Nashr al-Dhin al-Thusi, rida adalah “tidak merasa kecewa, baik secara lahiriah maupun batiniah, dan baik hati, perkataan maupun perbuatan, atas segala yang terjadi dalam diri hamba, dengan harapan Allah akan senang sehingga Allah akan membebaskannya dari murka dan hukuman-Nya. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, rida memiliki dua derajat: rida kepada Allah Swt sebagai rabb dan membenci ibadah kepada selain-Nya; dan rida terhadap qada dan qadar Allah swt. Menurut Ibn Qudamah, makna rida adalah seorang hamba menyadari bahwa pengaturan Allah Swt. lebih baik dari pengaturan manusia; dan rida atas penderitaan, karena di balik penderitaan ada pahala apalagi penderitaan itu berasal dari Allah Swt. sebagai kekasihnya. 
Pengertian rida ini merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi. Suka dan duka, diterima dengan gembira, sebab apapun yang datang itu, adalah ketentuan  Allah yang maha Kuasa. Sikap mental seperti ini tumbuh melalui usaha demi usaha, perjuangan demi perjuangan mengikis habis segala perasaan gundah dan benci sehingga yang tinggal dalam hatinya hanya perasaan senang dan bahagia. Apapun yang datang dan pergi ia tetap bahagia. Sebagaimana dalam hadist Nabi menegaskan yang artinya:
“Sesungguhnya aku ini Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barangsiapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaknya ia keluar dari kolong langit dan cari Tuhan selain Aku”. 

Al-maqam lainnya
Apabila seorang sufi telah mencapai maqam ridha ini, maka berarti dia telah mencapai suatu tahap yang mengantarkannya kepada sifat yang mendekati kesempurnaan. Oleh karena itu, dikalangan sufi sendiri terdapat perbedaan pendapat tentang ridha. Menurut Qomar Kailani, sebagian besar sufi berpendapat bahwa ridha adalah maqam terakhir dari perjalanan sufi. Tetapi, bagi sufi yang mengakui adanya ittihad maka maqam itu masih berlanjut kepada maqam lain, seperti mahabbah, ma’rifah, al-fana’, hingga mencapai ittihad. 
Sebagian sufi menilai bahwa setelah mencapai maqam rida, seorang salik masih dapat mencapai maqam seperti makrifat (al-ma’rifah), dan menegaskan bahwa al-ridha bukan maqam tertinggi. Al-Kalabazi mengatakan bahwa sebagian sufi membagi makrifat menjadi dua, yakni al-ma’rifat haq yang berarti penegasan keesaan Allah atas sifat-sifat yang dikemukakan-Nya; dan maqrifat haqiqah yang bermakna makrifat yang tidak bisa dicapai dengan sarana apapun, sebab sifat-Nya tidak dapat ditembus dan ketuhanan-Nya tidak dapat dipahami. Menurutnya, makrifat bermakna “hati (al-sirr) menyaksikan kekuasaan Allah Swt. dan merasakan besarnya kebenaran-Nya dan mulianya kehebatan-Nya yang tidak bisa diungkap dengan ibarat apapun. Al-Qusyairi menjelaskan bahwa maksud para sufi dari istilah makrifat adalah “sifat dari orang-orang yang mengenal Allah Swt. dengan nama dan sifat-Nya, dan membenarkan Allah Swt. dengan melaksanakan ajaran-Nya dalam segala perbuatan… Makrifat adalah pengosongan diri untuk selalu mengingat Allah Swt, tidak menyaksikan selain menyaksikan-Nya, dan tidak kembali kepada selain-Nya. Nashr-Din al Thusi menjelaskan bahwa makrifah adalah derajat tertinggi pengetahuan tentan Allah Swt. dan pengetahuan tentang-Nya memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan makrifat paling tinggi dimiliki oleh kaum ‘urafa, ahl al-yaqin, dan ahl-al hudhur yang menyaksikan-Nya secara langsung (dengan hati). Bagi sebagian sufi, makrifah lebih tinggi dari rida.
Sebagian sufi lain menghadirkan ajaran lain mengenai al-maqam tertinggi. Al-Hallaj mengenalkan paham al-hulul, Abd Yazid al-Bistami memiliki ajaran tentang al-ittihad, dan Ibn ‘Arabi mengajarkan paham wahdah al-wujud yang dielaborasi lebih lanjut oleh Mulla Shadra. Ketiga teori ini memang mendapatkan penolakan dari banyak fukaha dan teolog Sunni, tetapi diterima oleh mayoritas fukana Syiah. 








KESIMPULAN
Jika para sufi telah terbiasa mengamalkan tingkat al-Maqamat dari taubat hingga cinta dalam hidupnya, maka mencapai maqam rida bisa mereka capai. Karena rida merupakan bentuk ketenteraman dan kebaikan hati sepenuhnya bahwa menerima keputusan dari Allah merupakan hal yang terbaik bagi dirinya. Begitu juga dengan tingkatan yang lainnya seperti makrifat yang merupakan paling sangat dekat kepada Allah Swt.




















DAFTAR PUSTAKA

Irham, Iqbal. 2012. “Membangun Moral Bangsa melalui Akhlak Tasawuf”. Ciputat: Pustaka Al-                    Ihsan
Ja’far. 2016. “Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi”.Medan:Perdana   
          Publishing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar