Sabtu, 10 Juni 2017

Integrasi Tasawuf dan Sains

INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS

OLEH:
DOLI RAMADHAN
NIM:0705163027

DOSEN PENGAMPU:
Dr. JA’FAR, M.A




FISIKA-1
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SUMATRA UTARA














PENDAHULUAN

Dalam sejarah Islam, banyak kaum sufi yang memiliki ilmu pengetahuan yang sangat tinggi karena merupakan mukjizat yang diberikan Allah kepada kekasih-Nya yang senantiasa berzikir dan mengingat-Nya. Bahkan ilmu yang dikuasai para sufi tidak hanya di bidang keislaman saja, namun ilmu pengetahuan sains dan filsafat dapat mereka kuasai juga. Melalui pembahasan ini kita akan mengetahui bermanfaatnya  metode ‘irfani yang berpengaruh kepada metode tajribi (kajian-kajian ilmu-ilmu alam yang mengandalkan metode observasi dan eksperimen) untuk pembelajaran ilmu dunia sekalipun.






































PEMBAHASAN


Integrasi dalam sejarah Islam
Dalam sejarah intelektual Islam klasik, budaya integrasi keilmuan telah dikenal dan dikembangkan dengan canggih. Center for Islamic Philosophical Studies and Information (CIPSI) pernah menyebut 261 ilmuwan, teolog, dan saintis Muslim yang menguasai banyak bidang, baik ilmu-ilmu kewahyuan maupun ilmu-ilmu rasional dan empirik. Dalam sejarah Islam, ditemukan seorang ahli astronomi, ahli biologi, ahli matematika, dan ahli arsitektur yang mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu keislaman seperti tauhid, fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf. Meskipun berprofesi sebagai saintis dalam bidang ilmu-ilmu kealaman, para pemikir Muslim klasik menempuh pola hidup sufistik, dan kajian-kajian ilmiah mereka diarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuan religius dan spiritual.
Para filsuf dari mazhab Peripatetik merupakan pemikir Muslim yang berhasil mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran Islam yang bersumberkan kepada Alquran dan hadis, lantaran tema-tema filsafat Yunani diislamisasikan dan disesuaikan dengan paradigma Islam. Tidak sebatas integrasi belaka, mereka malah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu yang terdiri atas ilmu-ilmu rasional dan ilmu-ilmu kewahyuan, sehingga integrasi menjadi sangat mudah dilakukan. Al-Jahiz (w.869) adalah ahli dalam bidang sastra Arab, biologi, zoologi, sejarah, filsafat, psikologi, teologi, dan politik. Al-Kindi(w.873 M) menguasai seluruh cabang filsafat seperti metafisika, etika, logika, psikologi, kedokteran, farmakologi, matematika, astrologi, optik, zoologi, dan meteorologi. Al-Razi (w.925) adalah ahli dalam bidang filsafat, kimia, matematika, sastra, dan kedokteran. Al-Farabi (w.950) menguasai berbagai cabang filsafat, antara lain metafisika, etika, logika, matematika, musik, dan politik. Ibn Bajjah (w.1138) adalah tokoh yang dikenal sebagai seorang astronom, filsuf, musisi, dokter, fisikawan, psikolog, dan botanis. Ibn Thufail (w.1185) juga seorang ahli filsafat, kedokteran, dan hukum Islam. Al-Ghazali (w.1111) adalah seorang teolog, filsuf, dan sufi. ‘Umar Khayyam (w.1131) adalah matematikawan, astronom, dan sufi. Ikhwan al-Shafa’ (abad 10 masehi) adalah kelompok filsuf yang menguasai filsafat, psikologi, biologi, dan fisika. Ibn al-Haitsman (w.1039) merupakan tokoh dalam bidang falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Al-Biruni (w.1084) merupakan matematikawan, astronom, fisikawan, filsuf, sejarawan, ahli farmasi, dan dokter. Ibn Rusyd (w.1198) adalah pakar kedokteran, hukum Islam, matematika, dan filsafat. Ibn Sina (w.1037) menguasai filsafat, kedokteran, astronomi, kimia, geografi, geologi, psikologi, logika, matematika, fisika, dan puisi. Fakhr al-Dhin al-Razi (w.1209) dikenal sebagai ahli filsafat, tasawuf, kedokteran, tafsir, dan fikih. Di antara prestasi besar mereka sebagai ilmuwan Muslim adalah kemampuan mereka menguasai dan mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional, ilmu-ilmu empirik, dan ilmu-ilmu kewahyuan. Kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu religius adalah dampak dari keyakinan bahwa ilmu-ilmu religius merupakan ilmu-ilmu fardh al-‘ain yang wajib dikuasai dan diamalkan setiap muslim apapun profesi mereka. Kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu rasional dan empirik adalah bahwa semua ilmu tersebut dikategorikan sebagai ilmu fard al-kifayah yang diwajibkan kepada sebagian Muslim; atau kemungkinan tidak lebih dari sekedar profesi dan minat mereka untuk menguasai dan mengembangkannya atas dasar perintah agama.
Selain dari mazhab Peripatetik, sejarah Islam menyebutkan keberadaan para filsuf dari mazhab Isyraqiyah dan mazhab Hikmah al-Muta’aliyah yang sukses mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional dengan ilmu-ilmu kewahyuan. Di antara mereka adalah Suhrawardi (w.1191) yang dikenal ahli filsafat, tasawuf, Zoroastrianisme, dan Platonisme. Nashr al-Din al-Thusi (w.1274) merupakan pakar dalam bidang astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, fisika, teologi, tasawuf, dan hukum Islam. Quthb al-Din al-Syirazi (w.1311) cukup dikenal sebagai ahli dalam bidang astronomi, matematika, kedokteran, fisika, musik, filsafat, dan tasawuf. Mulla Shadra (w.1640) adalah seorang pakar teologi, hukum Islam, tafsir dan hadis, selain menguasai filsafat dan tasawuf. Baha’ al-Din Amili (w.1621) merupakan seorang fakih, ahli hadis, filsuf, matematikawan, dan arsitek. Banyak ilmuwan Muslim terdahulu yang kehidupan mereka sangan religius dan sufistik, tetapi mereka menguasai filsafat dengan segala cabangnya seperti metafisika, matematika, fisika, astronomi, biologi, kedokteran, dan teknologi arsitektur. 
Meskipun mereka seorang filsuf dan saintis, perilaku hidup mereka merupakan realisasi terhadap teori mereka mengenai filsafat dan sufisme. Dapat disimpulkan bahwa mereka sukses mengintegrasikan antara dua jenis ilmu tersebut, dan mengintegrasikan keduanya dengan keyakinan dan perilaku hidup mereka sehari-hari.

Integrasi dalam Ranah Ontologi
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, ont yang bermakna keberadaan, dan logos yang bermakna teori, sedangkan dalam bahasa Latin disebut ontologia, sehingga ontologi bermakna teori keberadaan sebagaimana keberadaan tersebut. Ontologi dapat dimaknai sebagai ilmu tentang esensi segala sesuatu. Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang merupakan bagian dari filsafat; dan membahas teori tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan karakteristik  esensial keberadaan. Suriasumantri menyimpulkan bahwa ontologi sebagai bagian dari kajian filsafat ilmu membahas tentang hakikat dari objek telaah ilmu dan hubungan objek ilmu dengan manusia sebagai pencari ilmu. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu tentang teori keberadaan, dan istilah ontologi ditujukan kepada pembahasan tentang objek kajian ilmu.
Dilihat dari karya-karya Ibn ‘Arabi, Suhrawardi, dan Mulla Shadra. Dapat dilihat titik singgung antara tasawuf (falsafi) dengan sains, sebab tasawuf bukan hanya membahas tentang bagaimana mendekatkan diri kepada Allah Swt. atau hakikat wujud-Nya, tetapi juga memberikan perspektif tasawuf mengenai hakikat alam dan manusia, sebagaimana sains juga hendak mengkaji dan menelaah fenomena-fenomena alam, terutama berbagai persoalan tentang mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia. 
Berbeda dari saintis Barat sekuler, para filsuf Muslim dan sufi berpendapat bahwa ada hubungan erat antara alam dengan Allah Swt. Menurut Ibn ‘Arabi (w.1240), alam diciptakan Allah Swt. melalui proses tajalli (penampakan diri)-Nya pada alam empiris yang majemuk. Tajalli Allah Swt. mengambil dua bentuk: tajalli dzati dalam bentuk penciptaan potensi; dan tajalli syuhudi dalam bentuk penampakan diri dalam citra alam semesta. Alam merupakan bayangan dari wujud Allah Swt., penampakan dari nama dan sifat-Nya, sedangkan manusia yang telah mencapai kedudukan insan al-kamil merupakan wadah tajalli-Nya, selain berkedudukan sebagai khalifah-Nya dan wali tertinggi (quthb). Teori Ibn ‘Arabi tentang alam didasari oleh doktrinnya tentang kesatuan wujud (wahdat al-wujud) dan tajalli. Ibn Sina dari mazhab Masysya’iyah, Suhrawardi yang mendirikan mazhab Isyraqi, dan Mulla Shadra dari mazhab Hikmah al-Muta’aliyah memberikan penjelasan bahwa alam  material tidak mandiri, melainkan disebabkan oleh wujud Allah Swt, dan selalu berada dalam pengawasan dan pengaturan-Nya. Ibn Sina, Suhrawardi dan Mulla Shadra menegaskan bahwa seluruh elemen dunia material (mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia) adalah akibat dari dunia spiritual memilliki jiwa (al-nafs) masing-masing. Dari perspektif Ibn ‘Arabi, alam merupakan manifestasi sifat-sifat Allah Swt. dan cermin bagi-Nya. Saintis Muslim sebagai peneliti alam empirik (terutama dunia mineral, tumbuhan, binatang, dan manusia) harus menyadari bahwa alam merupakan ciptaan dan manifestasi Allah Swt; dan ajaran Islam mengajarkan bahwa alam merupakan tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan-Nya, sehingga penelitian terhadap alam diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh keimanan terhadap-Nya, bukan menjauhkan manusia dari-Nya sebagaimana ditemukan dalam banyak teori ilmuwan-ilmuwan Barat-sekular.

Integrasi dalam ranah Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang bermakna pengetahuan, dan logos yang bermakna ilmu atau eksplanasi, sehingga epistemologi berarti teori pengetahuan. Epistemologi dimaknai sebagai cabang filsafat yang membahas pengetahuan dan pembenaran, dan kajian pokok epistemologi adalah makna pengetahuan, kemungkinan manusia meraih pengetahuan, dan hal-hal yang dapat diketahui. Runes menjelaskan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang menelusuri asal (sumber), struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Suria sumantri menyimpulkan bahwa epistemologi sebagai bagian dari kajian filsafat ilmu membahas tentang proses dan prosedur menggali ilmu, ,metode untuk meraih ilmu yang benar, makna dan kriteria kebenaran, serta sarana yang digunakan untuk mendapatkan ilmu. Dengan demikian, epistemologi adalah ilmu tentang tata cara mendapatkan ilmu.
Kajian-kajian ilmu-ilmu alam mengandalkan metode observasi dan eksperimen yang disebut dalam epistemologi Islam sebagai metode tafribi, sedngkn kajin tasawuf mengandalkan metode ‘irfani yang biasa disebut metode tazkiyah al-nafs. Meskipun ada perbedaan metode, tetapi kedua metode bisa melengkapi dan mendukung satu sama lain. Sebagian sufi memanfaatkan metode ‘irfani untuk mendapatkan pemahaman mendalam mengenai dunia metafisik dan dunia fisik (mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia). Dari pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi bisa dilihat manfaat metode ‘irfani dalam kajian ilmu-ilmu intelektual dan ilmu-ilmu empirik. Dalam kitabnya, Risalah al-Anwar fi ma Yumnah Shahib al-Khalwah min al-Asrar. Ibn ‘Arabi menceritakan hasil dari berbagai zikirnya. Melalui zikir, Ibn ‘Arabi mampu menembus berbagai dunia, mulai dari dunia fisik sampai dunia gaib. Pada zikir awal, Ibn ‘Arabi dibawa ke dunia mineral dan manfaat medisnya. Ketika terus melanjutkan zikirnya, Ibn ‘Arabi dibawa ke duniaa tumbuh-tumbuhan, dan ia dikenalkan pada berbagai jenis dan manfaat tumbuhan tersebut. Zikir selanjutnya membawa Ibn ‘Arabi menuju dunia hewan, dunia manusia, bahkan 23 jenis dunia gaib, dan ia sendiri memperoleh banyak sekali pengetahuan tentang berbagai dunia tersebut. Menurut informasi, Ibn Sina akan melakukan solat di masjid jika menemukan persoalan-persoalan rumit dalam filsafat dan sains. Dengan demikian, sufi seperti Ibn ‘Arabi dan filsuf seperti Ibn Sina memanfaatkan praktik-praktik ibadah yang kerap dilakukan oleh kaum sufi seperti zikir dan salat untuk mendapatkan ilmu mengenai banyak hal, terutama pemahaman terhadap dunia fisik dan non-fisik. Dari aspek ini, saintis Muslim, meskipun lebih banyak mengedepankan metode tajribi (observasi dan eksperimen) dalam mengembangkan ilmu-ilmu alam, tetap perlu mengambil metode tasawuf dalam menemukan ilmu dan kebenaran, dimana kaum sufi mengutamakan metode tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa) dengan melaksakan berbagai ritual ibadah (al-ibadah) termasuk zikir, serta melakukan praktik riyadhah dan mujahadah. Dari perspektif Islam, kesucian jiwa manusia menjadi syarat utama untuk memperoleh ilmu secara langsung dari sumber asalnya, yaitu Allah Swt. yang diketahui memiliki sifat al-‘Alim.


































KESIMPULAN

Ada beberapa manfaat jika metode para sufi yaitu metode irfani’ diamalkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dekat dengan Allah Swt sehingga kita bisa hidup tentram bahkan akibat dari metode pembersihan jiwa tersebut kita memiliki manfaat yaitu kemudahan dalam menuntut ilmu keislaman maupun ilmu fisik terutama sains seperti yang pernah terjadi pada sufi di jaman Islam klasik bahkan mereka memiliki kemampuan untuk melihat hal yang gaib untuk menuntut ilmu alam.







































DAFTAR PUSTAKA


Ja’far. 2016.“Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi”. Medan: Perdana
          Publishing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar